Denpasar, suarabali.com – Festival Antikorupsi 2017, Jatijagat Kampung Puisi (JKP) menggelar Apresiasi Sastra bertajuk “Mengunyah Geram, Melawan Korupsi”, Sabtu, (02/12/2017) Malam. Acara yang digelar di Jatijagat Kampung Puisi, Jalan Cok Tresna 109, Renon, Denpasar ini terbilang berjalan cukup sukses.
Acara ini juga dirangkai dengan peluncuran secara simbolis buku “Mengunyah Geram, Seratus Puisi Melawan Korupsi”. Para pembaca puisi dalam festival ini, sebagian besar karyanya terpilih dan dituangkan dalam buku antologi puisi tersebut.
Buku yang disusun oleh penyair kenamaan Bali, Wayan Jengki Sunarta ini diterbitkan atas kerja sama Jatijagat Kampung Puisi, Yayasan Manikaya Kauci, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Sejak undangan penerbitan buku puisi antikorupsi dibuka pada tanggal 3 November dan ditutup 13 November, panitia menerima sekitar 800 puisi yang dikirim oleh 270-an peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Puisi-puisi tersebut kemudian diseleksi oleh Wayan Jengki Sunarta untuk dibukukan.
Seratus puisi terpilih dalam buku ini memberikan gambaran bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dimusnahkan. Kumpulan puisi ini berjudul “Mengunyah Geram”, diambil dari salah satu judul puisi dalam buku ini. Judul tersebut dipilih karena mewakili sebagian besar nada puisi dalam buku ini, geram, sinis, marah, dan kesal.
Wayan Jengki Sunarta yang merupakan penyair dan sekaligus kurator menyebutkan bahwa puisi dibuat lewat ekpresi kejujuran. Dengan puisi ini diharapkan para pembaca puisi mendapat ruang renung atau kontemplasi untuk gerakan penyadaran atau pencegahan tentang anti korupsi.
“Nanti akan dicetak 500 buku dan dibagi-bagi. Hal ini untuk pencegahan atau penyadaran tentang anti korupsi. Karena setiap orang mempunyai sifat serakah, tamak, karena kita sebenarnya punya benih-benih untuk korupsi,” ucapnya.
Menurut Jengki, lewat puisi ini, bagaiamana orang-orang mendapat ruang renung dan membersihkan batin sehingga bisa mengikis benih-benih korupsi didalam dirinya sendiri.
“Karena untuk kampaye melawan korupsi ini, semua lapisan masyarakat dilibatkan, ada mahasiswa, ada sastrawan, guru, pelajar dan lain-lain,” jelasnya.
Jengki juga menjelaskan bagaimana puisi, mampu membuat penyadaran dan pencegahan untuk anti korupsi. Menurutnya puisi mempunyai kekuatan di kata-kata yang nantinya melekat pada pembacanya. Sehingga gerakan penyadaran untuk anti korupsi bisa terwujud.
“Walaupun puisi adalah jalan sunyi, tapi puisi real. Didalam kesuyian itu ada kekuatan kontemplasi lewat kata-kata. Karena kata-kata adalah senjata. Kata lebih tajam dari pedang, dengam ketajaman kata ini mengikis benih-benih korupsi itu dalam konteks tema anti korupsi,” ungkapnya.
“Penyadaran anti korupsi lewat puisi memang secara langsung tidak kelihatan. Tapi paling tidak, jika orang-orang bersetuhan dengan puisi dengan tema anti korupsi dan merenungi setiap kata yang dirangkai dalam puisi, itu bisa melekat di kepala. Hal ini imbasnya memang tidak langsung. Namun imbasnya jangka panjang untuk penyadaran,” tambahnya.
Selain itu, Jengki juga berpesan kepada para generasi muda, harus lebih mencintai kesenian, entah dari sastra, puisi, atau budaya. Karena seni selain mengandung renungan akan kehidupan, seni juga bisa mengasah batin untuk peka dan kritis terhadap persolan yang terjadi dilingkungan sekitar.
“Seperti Rendra katakan, ” Apalah arti kesenian bila jauh dari derita lingkungan,”. Jadi seni itu harus menyatu dalam kehidupan atau dengan lingkungan. Sehinga dari sana memunculkan upaya-upaya kritis. Kritis melihat bangsa, negara ini dan sebagainya. Semestinya anak-anak muda lebih mencitai kesenian,” pungkasnya. (Mkf/Tjg)