Surakarta, suarabali.com – Dokter Maria Retno Setijawati tak pernah lelah menjalani aktivitasnya. Dia selalu tersenyum dan terbuka kepada setiap orang. Dia menekuni profesi dokter, karena ingin ‘balas dendam’ atas kondisi yang menimpanya.
“Saya ingin menjadi dokter, karena melihat waktu dulu banyak orang yang kena folio. Jadi, saya ingin memberi penyuluhan tentang imunisasi folio. Kenapa zaman dulu banyak balita yang belum diimunisasi,“ tutur dokter yang lahir di Surakarta pada tahun 1959 ini.
Sejak balita, Maria sudah menderita folio. Namun, penyakit itu tak membuatnya berkecil hati. Kekurangan itu justru membuatnya terpanggil untuk berbakti kepada sesama. Jasanya tak ternilai dengan emas intan permata. Dari pagi hingga malam, Maria setia mengobati orang miskin dengan biaya murah tanpa memandang suku, agama, dan ras.
Maria pun menceritakan kisah hidupnya menjadi dokter. Selepas lulus SMA URSULIN Surakarta, Maria muda mendaftar kuliah di Jurusan Kedokteran Universitas Sebelas Maret dan Universitas Diponegoro. Sayangnya, dia tidak diterima. Lantas, dia mendaftar ke Jurusan Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, sembari menunggu pembukaan pendaftaraan penerimaan mahasiswa baru di tahun depannya.
“Saya kuliah di Unissula tahun 1981. Akhirnya keterusan kuliah di sini. Saya tidak jadi mendaftar lagi di UNS atau Undip,“ tuturnya.
Meskipun mengalami keterbatasan fisik saat kuliah, Maria tak minder dengan kondisinya. Ia dikenal tekun dan pekerja keras. Usaha itu membuahkan hasil. Maria menjadi satu di antara tiga mahasiswa yang lulus tercepat pada tahun 1988.
“Tuhan sangat sayang sama saya. Karena saya selalu diberkahi orang-orang yang perhatian pada saya. Makanya, saya bisa lulus dengan cepat walau dalam kondisi difabel,“ kenangnya.
Lulus kuliah, Maria muda menjadi Kepala Puskesmas Manahan Surakarta selama delapan tahun (1990-1998). Lalu, dia pindah menjadi Kepala Puskesmas Sangkar. Tahun 2008, dia kembali menjadi Kepala Puskesmas Manahan. Di tempat ini, Maria lebih sering bersentuhan dengan kaum pinggiran. Mulai dari masyarakat menengah ke bawah, termasuk pekerja seks komersial dan penderita HIV/AIDS.
Pada tahun yang sama, Maria mengubah Puskesmas Manahan menjadi klinik metadon (kilinik untuk para pecandu obat). Tak puas, ia aktif di Balai Pengobatan Hati Bunda— berdiri pada 1991— di Pasar Kliwon. Bangunan sederhana di tepi jalan ini menjadi primadona bagi kalangan menengah ke bawah. Saban hari, balai pengobatan ini ramai pasien berbagai tingkatan usia yang memeriksakan kesehatannya. Dibantu tiga karyawannya, Maria penuh dengan kesabaran memeriksa para pasiennya.
Maria mengaku, banyak pasien yang datang tanpa membawa uang sepeser pun. Namun, hal itu tak membuat Maria membedakannya. Dia tetap memberikan pelayanan yang maksimal.
“Ya, kalau ada pasien periksa sama obat, tarifnya cuma 15 ribu sampai 25 ribu rupiah. Nanti kalau cuma periksa tanpa obat, ya, gratis. Saya itu kasihan melihat pasien yang memang mayoritas berasal dari kalangan menengah ke bawah. Terkadang saya enggak tega menagih pasien untuk membayar. Lah, lihat pakaiannya yang kumal saja, saya enggak tega,“ ujarnya. (sir)