DENPASAR, suarabali.co.id – Setelah berbagai upaya untuk mengatasi polusi plastik, Pemerintah Provinsi Bali akhirnya merilis kebijakan baru. Dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2025, Pemprov Bali mengimplementasikan Peraturan Gubernur Bali Nomor 97 Tahun 2018 tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai. Kebijakan ini mulai berlaku pada 3 Februari 2025, dan melarang penggunaan air minum kemasan plastik di seluruh instansi pemerintahan serta sekolah-sekolah di Bali. Sebagai gantinya, pegawai dan pelajar diwajibkan membawa botol air minum pribadi, dengan rekomendasi penggunaan botol berbahan tahan karat atau plastik bebas BPA.
Sekretaris Daerah Bali, Dewa Made Indra, menjelaskan bahwa kebijakan ini bertujuan memastikan semua perangkat daerah, BUMD, dan sekolah di Bali menerapkan pembatasan plastik sekali pakai. Selain itu, kebijakan ini juga mencakup seluruh peserta pendidikan dan pelatihan (diklat) di lingkungan Pemprov Bali, yang wajib membawa tumbler pribadi selama kegiatan.
Dewa Indra juga meminta kepala sekolah dan guru di Bali untuk menjadi contoh dalam mengurangi penggunaan plastik, terutama plastik sekali pakai yang berasal dari kemasan makanan dan minuman. Pemprov Bali berharap kebijakan ini diterapkan dengan penuh tanggung jawab untuk menciptakan Bali yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Sementara itu, masalah sampah plastik masih menjadi tantangan besar di Bali. Awal tahun 2025, Pantai Kedonganan di Jimbaran kembali terpapar tumpukan sampah plastik. Sungai Watch, sebuah organisasi lingkungan yang fokus pada penghentian sampah plastik ke laut, melakukan aksi bersih-bersih pada 24 Desember 2024 hingga 5 Januari 2025. Dalam aksi ini, lebih dari 66 ton sampah berhasil diangkut, sebagian besar terdiri dari plastik sekali pakai. Dua penyu laut ditemukan terperangkap di antara tumpukan plastik, menggarisbawahi dampak buruk polusi terhadap satwa liar.
Gary Bencheghib, salah satu pendiri Sungai Watch, menegaskan bahwa krisis sampah plastik ini bukan hanya masalah lokal Bali, tetapi masalah nasional yang memerlukan tindakan cepat dari individu, bisnis, dan pemerintah. Sampah plastik yang dikumpulkan akan dipilah di fasilitas pemilahan Sungai Watch untuk memastikan tidak berakhir di tempat pembuangan sampah atau sungai dan akhirnya ke laut.
Krisis sampah ini semakin memperburuk citra Bali, dengan Pulau Dewata bahkan didapuk sebagai destinasi wisata yang “tidak layak dikunjungi” pada 2025 oleh Fodor’s No List. Bali dinilai belum menyelesaikan masalah sampah yang menahun, yang semakin diperburuk oleh pariwisata yang tidak terkendali. Pembangunan cepat akibat ledakan wisatawan memberikan tekanan berat pada infrastruktur dan lingkungan Bali, menjadikan pantai-pantai yang dulu bersih kini tertutup sampah.
Fodor menyebutkan bahwa pariwisata yang berlebihan mengikis warisan alam dan budaya Bali, serta menciptakan apa yang disebut sebagai “kiamat plastik”. Dalam situasi ini, banyak destinasi wisata yang tergerogoti oleh popularitasnya sendiri, yang mengarah pada ketidakseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat lokal.