Jakarta, suarabali.com – “Negara belum sepenuhnya hadir melindungi kepentingan konsumen” Hal ini dinyatakan oleh Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Ardiansyah Parman, dalam Workshop Penguatan Lembaga Perlindungan Konsumen yang diselenggarakan di Jakarta hari (23/11/2017).
“Kehadiran negara memberikan iklim Percaya Diri Bertransaksi bagi pasar, yang terdiri dari unsur masyarakat konsumen, dunia usaha dan Pemerintah sendiri”, tambah Ardiansyah.
Rasa percaya diri (Confidence) masyarakat dalam bertransaksi bersifat fundamental bagi kesehatan ekonomi suatu bangsa. Kondisi bertransaksi “percaya diri” ini membangun dinamika pasar dan daya beli konsumen efektif, dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional yang berkualitas.
Tuntutan, bahwa Negara harus hadir melindungi konsumen merupakan amanat konstitusi.
“untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa … melindungi segenap tumpah darah Indonesia” (keselamatan, kesehatan, keamanan, kenyamanan masyarakatnya)”
Saat ini masih marak insiden perlindungan konsumen dimana konsumen menjadi korban. Konsumen tidak hanya rugi materiil, tapi juga bisa terkadang berakibat fatal. (contoh Kasus pelayanan kesehatan, jasa umroh, perumahan, asuransi kesehatan, vaksin palsu)
“Semua itu persoalan serius, perlu perhatian dan kehadiran Negara untuk mewujudkan perlindungan konsumen yang berkeadilan dan berdaya”, tambah Ardiansyah.
Praktek industri dan bisnis pasar dunia berubah cepat. Revolusi Teknologi digital berkembang sedemikian rupa mentransformasi perubahan pada pola, proses produksi, dan transaksi barang jasa.
Revolusi teknologi digital ini mengubah cara pandang dan pola transaksi konsumen di penjuru dunia. Masyarakat konsumen berhadapan dengan lahirnya internet, berlanjut memunculkan smartphone lalu ecommerce. Hal ini dibarengi oleh berkembang pesatnya otomatisasi dan teknologi robotik.
Pada tahun 2016, lembaga dunia, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD)” pun telah memperbaharui dokumen Guidelines For Consumer Protection, yang merupakan penyempurnaan atas dokumen berjudul sama, yang juga dikeluarkan PBB tahun 1985.
Ketua BPKN, menambahkan bahwa “Masyarakat Konsumen, dunia usaha dan Pemerintah perlu memahami bahwa ekonomi digital ini tidak lagi dapat terbendung. Kehadirannya akan mempengaruhi hampir semua aspek kehidupan masyarakat, baik sosial, ekonomi dan ekologi.”
Perhatikan saja, “9 sektor prioritas dalam Strategi Nasional Perlindungan Konsumen (sektor obat, makanan, dan minuman; jasa keuangan; jasa pelayanan publik; perumahan/properti; jasa transportasi; jasa layanan kesehatan; jasa telekomunikasi; dan e-commerce) sudah diwarnai oleh dimensi ekonomi digital”, ujar Ardiansyah.
Perlindungan konsumen menyentuh Aplikasi Internet; e-Commerce; Volume dan intensitas lalu lintas barang jasa ; Jurisdiksi PK – Cross Borders; Isu Privacy, Keamanan Jaringan dan data, Property Rights, Kedaulatan Data dan Informasi, Lingkungan Hidup dan Hak Azasi. Tantangan perlindungan konsumen saat ini dan ke depan semakin menuntut kehadiran Negara secara Sistemik.
Jelas, Tantangan Perlindungan Konsumen Bergerak cepat, dinamis, menyentuh berbagai aspek pengelolaan dan pengaturan. Hal ini menuntut pengaturan atas aspek-aspek yang multifacet dan across the board. Secara keseluruhan Perlindungan Konsumen bukan lah isu sektoral lagi. Dalam kondisi seperti ini, Pendekatan sektoral dan kewilayahan tiada lagi memadai.
Menutup diskusi, Ardiansya mengatakan, “semoga masukan kita semua bisa menjadi bahan masukan Naskah Akademik RUUPK ke. Tujuannya agar BPKN dapat lebih profesional dan efektif menghadapi persoalan ketidakberdayaan konsumen. pungkasnya. (Hsg)