Jakarta, suarabali.com – Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) resmi membuka Seminar Visiting World Class Professor (WCP) 2017 atas program yang diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Kemenristekdikti bertempat di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (16/11).
Dalam sambutannya, Direktur Jenderal Sumber Daya Iptek dan Dikti Ali Ghufron Mukti menyatakan, acara ini bertujuan untuk memberikan kesempatan pada perguruan tinggi agar berinteraksi dengan institusi dan profesor berkelas dunia, meningkatkan kinerja dan produktivitas riset akademisi perguruan tinggi, serta meningkatkan peringkat perguruan tinggi untuk masuk 500 besar dunia.
“Seminar ini bertujuan untuk membagikan pelajaran penting (lesson learned) dari program Visiting World Class Professor (WCP) 2017 dari para narasumber terkemuka serta sosialisasi WCP ditahun berikutnya,” ujar Dirjen Ghufron.
Dirjen Ghufron juga menjelaskan, penyelenggaraan program Visiting World Class Professor (WCP) terbagi menjadi dua skema, yakni A dan B. Perbedaannya yaitu pada persyaratan perguruan tinggi pengusul dan profesor yang diundang. Ia menambahkan, persyaratan skema A lebih berat, sedangkan skema B lebih sederhana, begitu pula dengan target output yang didapat juga lebih tinggi pada skema A.
“Sebagai contoh skema A diperuntukkan bagi perguruan tinggi dengan akreditasi A, sedangkan skema B dapat diikuti oleh minimal perguruan tinggi berakreditasi B. Begitu juga profesor yang diundang pada skema A harus ada minimal satu yang memiliki h-index Scopus minimal 25. Untuk skema B, profesor yang diundang cukup memiliki h-index minimal 5, dan diutamakan berpengalaman memimpin laboratorium riset atau editor jurnal internasional bereputasi,” tambah Ghufron.
Terkait output, Dirjen Ghufron mengungkapkan, skema A pada akhir program ditargetkan mampu menghasilkan sekurang-kurangnya enam manuskrip HaKI atau joint publication di jurnal internasional bereputasi Q1/Q2-SJR Scimago dalam status under review. Sementara untuk skema B, minimal menghabiskan joint publication di jurnal internasional bereputasi, seperti Scopus, Reuters, dan Thomson dengan impact factor minimal 0,2. Adapun pada akhir kegiatan sudah dalam status under review atau HaKI sudah didaftarkan.
“Perlu diketahui bahwa program WCP ini berbeda dengan Diaspora. Selain lebih banyak melibatkan profesor yang berasal dari luar negeri, juga ada proposal yang diajukan. Sehingga perguruan tinggi di Indonesia sudah tahu berkolaborasi dengan siapa, termasuk dengan track record profesornya,” sebut Ghufron.
Pada kesempatan yang sama, Menristekdikti Mohamad Nasir menyampaikan bahwa Visiting World Class Professor (WCP) menjadi momentum untuk mendongkrak mutu pendidikan tinggi, termasuk jumlah publikasi ilmiah di Indonesia. Pasalnya, selama 20 tahun terakhir jumlah publikasi ilmiah Indonesia selalu di bawah Thailand, dan baru tahun ini dapat melampaui Thailand dengan berada di peringkat ketiga di Asia Tenggara.
“Kemenristekdikti melakukan terobosan melaui Program World Class Professor (WCP) ini. Targetnya tidak main-main, oleh sebab itu saya harap para peserta program WCP dapat merumuskan suatu rancangan untuk perbaikan penyelenggaraan pendidikan tinggi, riset, dan inovasi di Indonesia,” tutur Nasir.
Saat ini, setidaknya sudah ada tiga universitas Tanah Air yang masuk dalam 500 besar dunia, yakni Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ke depan, Menteri Nasir berharap terdapat lima perguruan tinggi yang masuk dalam jajaran 500 terbaik dunia. Untuk mewujudkannya, Ia menargetkan tidak hanya publikasi ilmiah saja yang ditingkatkan, tetapi juga jumlah Doktor muda yang unggul dalam pengembangan riset.
“Melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya Iptek Dikti, kini sudah membuka program percepatan Magister dan Doktor, bahkan sudah meluluskan Doktor termuda berusia 24 tahun bernama Grandprix yang lulus S-1 dari UI, lalu melanjutkan program Magister dan Doktor di ITB. Berikutnya, saya harap ada terobosan lain di mana percepatan studi ini dilakukan sejak S-1 sampai S-3,” imbuh Nasir.
Pengelolaan perguruan tinggi yang baik dengan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), riset dan inovasi akan berdampak signifikan pada daya saing bangsa. Menteri Nasir menuturkan, saat ini Global Competitiveness Index Indonesia masih di posisi ke-36 dari 137 negara. Hal ini perlu ditingkatkan mengingat Indonesia memiliki potensi yang besar. Di antaranya dengan cara mengejar empat faktor utama, meliputi pendidikan tinggi dan pelatihan, efisiensi pasar, inovasi, serta tingkat kesiapan teknologi (Technology Readiness Level).
Menteri Nasir juga mengatakan, program World Class Professor (WCP) Tahun 2017 sendiri menarik minat yang besar dari para profesor dunia juga perguruan tinggi. Buktinya, negara-negara asal profesor pada program ini datang dari berbagai penjuru dunia, seperti Korea Selatan, China, Inggris, Prancis, Australia, Jepang, Amerika, Denmark, Jerman, Selandia Baru, Arab Saudi, Kanada, Italia, Belanda, Taiwan, Rusia, Thailand, dan Malaysia. Bahkan, program World Class Professor berhasil menghimpun 162 proposal. Namun, setelah diseleksi hanya ada 39 proposal yang lolos untuk berkolaborasi dengan 84 profesor dunia.
Hadir sebagai peserta Seminar WCP adalah para jajaran pejabat di lingkungan Kemenristekdikti, Komisi VII dan Komisi X DPR RI, para pimpinan perguruan tinggi, dan para Koordinator Kopertis Seluruh Wilayah Indonesia.
Adapun tiga profesor yang akan memaparkan penelitiannya, yakni Profesor Jean Louis Batoz dari Prancis yang melaksanakan program di UI, Profesor Paul Taylor dari Australia yang melaksanakan program di UGM, serta Profesor K. Honda dari Jepang yang melaksanalan program di IPB. (Ristek Dikti)