Karangasem, suarabali.com – Jarum jam dinding di Pos Pemantauan Gunung Agung Karangasem, Bali, Rabu (27/9) dini hari menunjukkan pukul 02.45 waktu setempat. Namun, sejumlah wartawan dari berbagai media terlihat masih bersiaga memantau perkembangan aktivitas vulkanik Gunung Agung yang dalam dua minggu terakhir meningkat.
Sejak status Gunung Agung menjadi Awas, para pekerja media ini tak ingin ketinggalan momen untuk segera mengabarkan kondisi Gunung Agung detik demi detik kepada masyarakat. Hampir setiap lima menit gempa berskala kecil terasa mengguncang. Gempa kecil yang rata-rata berlangsung dalam rentang waktu sekitar tiga hingga lima detik terjadi ratusan kali dalam sehari.
“Sejak status Gunung Agung menjadi awas, setiap malam saya harus begadang sampai pagi memantau ke arah puncak gunung,” ungkap Robin, juru kamera salah satu televisi nasional, saat berbincang dengan suarabali.com.
Kamera video Robin nyaris tak pernah lepas dari genggamannya. Setiap kali gempa vulkanik kecil terjadi, ia pun buru-buru angkat kamera dan siap mengarahkan moncong lensa kameranya ke arah puncak gunung 3031 MDPL ini. Bagi Robin, sekecil apa pun informasi yang dia himpun akan sangat berarti bagi masyarakat dan pihak terkait pengambil kebijakan.
“Saya tak ingin kehilangan momen penting untuk memberikan perkembangan informasi status gunung ini kepada masyarakat,” ungkapnya.
Selain Robin, beberapa awak media lainnya juga masih setia memantau perkembangan di dalam ruang seismograf hingga menjelang pagi. Ada yang asyik menghilangkan kejenuhan dengan bermain game melalui telepon genggamnya, beberapa lainnya ada juga yang tertidur pulas setelah seharian penuh bertugas meliput perkembangan situasi Gunung Agung.
Satu hal yang menjadi keluhan para wartawan yang harus begadang untuk memantau perkembangan kondisi Gunung Agung di Pos Pengamatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Gunung Agung Karangasem adalah tidak adanya fasilitas dapur untuk memasak.
“Sayangnya kalau tengah malam kita lapar atau mau minum kopi, di sini tidak ada dapur untuk masak air atau masak mie instant. Mau cari warung jauh dan kalau sudah tengah malam tidak ada warung yang buka,” keluh Robin.
Untungnya, terkadang ada saja warga atau sukarelawan yang datang ke pos pemantauan ini sambil membawa makanan kecil atau minuman ringan.
Robin mengaku, sejak aktivitas gunung berapi yang terakhir kali meletus di tahun 1963 ini mulai meningkat, ia tidak pernah pulang ke rumah kontrakannya yang berada di Denpasar.
“Sudah satu minggu lebih saya enggak pernah pulang,” tuturnya. Meski begitu, Robin mengaku tetap gembira menjalankan tugasnya sebagai juru kamera.
“Selama gunung ini masih belum dinyatakan aman, maka saya pun akan tetap setia bertugas di sini,” tekadnya.(tjg)