Jakarta, suarabali.com – Masyarakat diimbau mewaspadai penyakit menular difteri yang disebabkan kuman corynebacterium diptheriae. Difteri dapat menyerang orang yang tidak mempunyai kekebalan, terutama anak-anak.
Difteri menimbulkan gejala dan tanda berupa demam yang tidak begitu tinggi, 38º celcius, munculnya pseudomembran atau selaput di tenggorokan yang berwarna putih keabu-abuan yang mudah berdarah jika dilepaskan, sakit waktu menelan, kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar getah bening leher dan pembengakan jaringan lunak leher yang disebut bullneck. Adakalanya juga disertai sesak napas dan suara mengorok.
Hingga November 2017, berdasarkan Data Kementerian Kesehatan, ada 95 kabupaten dan kota di 20 provinsi melaporkan kasus difteri. Sementara kurun waktu Oktober – November 2017, ada 11 provinsi yang melaporkan terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Difteri di wilayah kabupaten dan kota di Sumatera Barat, Jawa Tengah, Aceh, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Riau, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.
Untuk mengantisipasi peningkatan kasus difteri, masyarakat diminta memeriksakan status imunisasi putra-putrinya untuk mengetahui apakah status imunisasinya sudah lengkap sesuai jadwal. “Jika belum lengkap, agar dilengkapi”, kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan, Oscar Primadi, Senin (4/12/2017).
Masyarakat juga dimbau menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat. Gunakan masker bila sedang batuk. Segeralah berobat ke pelayanan kesehatan terdekat jika ada anggota keluarga yang mengalami demam disertai nyeri menelan, terutama jika didapatkan selaput putih keabuan di tenggorokan.
“Masyarakat perlu mendukung dan bersikap kooperatif jika di tempat tinggalnya diadakan ORI (Outbreak Response Immunization) oleh Dinas Kesehatan setempat,” kata Oscar.
Cegah Difteri dengan Imunisasi
Pencegahan utama difteri adalah dengan imunisasi. Indonesia telah melaksanakan program imunisasi – termasuk imunisasi difteri – sejak lebih lima dasawarsa. Ada tiga jenis vaksin untuk imunisasi difteri, yaitu vaksin DPT-HB-Hib, vaksin DT, dan vaksin Td yang diberikan pada usia berbeda.
Imunisasi difteri diberikan melalui imunisasi dasar pada bayi (di bawah 1 tahun) sebanyak tiga dosis vaksin DPT-HB-Hib dengan jarak sebulan. Selanjutnya, diberikan imunisasi lanjutan (booster) pada anak umur 18 bulan sebanyak satu dosis vaksin DPT-HB-Hib.
Pada anak sekolah tingkat dasar kelas 1 diberikan satu dosis vaksin DT. Lalu, pada murid kelas 2 SD diberikan satu dosis vaksin Td, dan pada murid kelas 5 SD diberikan satu dosis vaksin Td.
Keberhasilan pencegahan difteri dengan imunisasi sangat ditentukan oleh cakupan imunisasi, yaitu minimal 95 persen.
Munculnya KLB Difteri terkait dengan adanya immunity gap, yaitu kesenjangan atau kekosongan kekebalan di kalangan penduduk di suatu daerah. Kekosongan kekebalan ini terjadi akibat adanya akumulasi kelompok yang rentan terhadap difteri. Sebab, kelompok ini tidak mendapat imunisasi atau tidak lengkap imunisasinya. Akhir-akhir ini, di beberapa daerah di Indonesia, muncul penolakan terhadap imunisasi.
“Penolakan ini merupakan salah satu faktor penyebab rendahnya cakupan imunisasi. Cakupan imunisasi yang tinggi dan kualitas layanan imunisasi yang baik sangat menentukan keberhasilan pencegahan berbagai penyakit menular, termasuk difteri”, ungkap Oscar. (sir)