Alat berat tengah beroperasi di lahan luas di daerah Ungasan untuk pembangunan proyek villa.
Jakarta, suarabali co.id – Pencucian uang melalui pembelian aset properti di Bali menjadi sorotan dalam rapat Komisi III DPR RI. Salah satu anggota DPR, Bambang Soesatyo, mengungkapkan keprihatinannya atas fenomena ini yang semakin marak di tengah ketegangan geopolitik dunia. Menurut Bambang, praktik pencucian uang ini berkembang pesat, ditandai dengan meningkatnya minat turis asing membeli aset properti dan bisnis di Bali. Dalam kesempatan tersebut, ia meminta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) segera menindaklanjuti temuan ini.
Menurut Bambang, melonjaknya harga tanah di Bali tak lepas dari masuknya dana besar dari luar negeri yang dialokasikan untuk aset properti di Pulau Dewata. Pembelian properti ini diduga menjadi salah satu cara bagi turis asing untuk “mendaratkan” dana mereka secara aman di tengah ketidakstabilan akibat konflik Rusia-Ukraina. Tidak main-main, transaksi yang terjadi diduga sudah mencapai ratusan milyar rupiah.
“Transaksi ini bahkan sudah sangat terang-terangan, dengan menggunakan metode peer-to-peer langsung antara individu,” ungkap Bambang. Menurutnya, nilai transaksi yang diduga berkaitan dengan pencucian uang tersebut bahkan sudah menyentuh ratusan triliun rupiah.
Bambang menegaskan pentingnya PPATK bergerak cepat untuk mengatasi persoalan ini. Menurutnya, jika dibiarkan, fenomena ini tidak hanya merusak pasar properti dan ekonomi lokal di Bali, tetapi juga berpotensi menimbulkan dampak jangka panjang terhadap stabilitas ekonomi nasional. Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran terkait inflasi harga properti yang bisa berdampak langsung pada masyarakat lokal, khususnya mereka yang bergantung pada akses lahan dan perumahan.
Dampak Perang Rusia-Ukraina pada Aset di Bali
Bambang mengungkapkan bahwa ketegangan geopolitik antara Rusia dan Ukraina mendorong sejumlah investor dan individu untuk mencari alternatif penyimpanan aset yang lebih aman di luar negara asal mereka. Indonesia, khususnya Bali, menjadi salah satu destinasi yang disasar karena ketenarannya sebagai daerah wisata dan peluang investasi yang tinggi di sektor properti. Dalam hal ini, aset properti menjadi pilihan menarik untuk menyimpan dan memindahkan dana dalam jumlah besar.
Bali yang sudah lama menjadi tujuan favorit wisatawan mancanegara kini menghadapi ancaman serius dari praktik transaksi ilegal ini. Selain itu, maraknya transaksi peer-to-peer tanpa pengawasan dianggap berpotensi menyulitkan otoritas dalam melacak aliran dana yang masuk, terutama karena tidak semua transaksi dilaporkan melalui lembaga perbankan formal. (*)