Pedagang tuak di Bali.
Jimbaran, suarabali.co.id – Pemerintah Provinsi Bali memberikan perhatian khusus terhadap minuman tradisional Bali, tuak, melalui Peraturan Gubernur Bali Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Kelola Minuman Fermentasi dan Distilasi Khas Bali. Diterbitkan pada 29 Januari 2020, peraturan ini memberikan izin penjualan bebas untuk minuman arak dan tuak selama diproduksi oleh perusahaan berizin dan menggunakan bahan baku lokal yang dihasilkan oleh petani setempat. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Gubernur I Wayan Koster untuk memberikan pengakuan legal bagi produksi dan distribusi minuman tradisional ini, yang selama ini telah menjadi bagian penting dari budaya dan ekonomi masyarakat Bali, khususnya di daerah Karangasem.
Sejak peraturan ini diterapkan, terlihat perubahan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Bali. Penjualan minuman seperti arak dan tuak kini semakin marak di berbagai toko kelontong dan warung pinggir jalan. Di area Jimbaran, misalnya, beberapa warung terlihat ramai dengan aktivitas pembeli yang memesan minuman tradisional ini dari penjual.
Namun, kebijakan ini memicu pro dan kontra di masyarakat. Di satu sisi, regulasi baru ini diharapkan dapat meningkatkan sektor ekonomi, terutama bagi petani dan pelaku usaha kecil yang bergantung pada produksi arak dan tuak. Bagi mereka, kebijakan ini membuka peluang ekonomi baru yang dapat meningkatkan taraf hidup.
Di sisi lain, kekhawatiran muncul terkait dengan dampak sosial dari konsumsi alkohol yang lebih mudah diakses. Beberapa pihak menilai bahwa tanpa pengawasan yang memadai, kebijakan ini berpotensi menyebabkan penyalahgunaan alkohol, terutama di kalangan masyarakat yang belum memiliki kesadaran tentang konsumsi alkohol yang bertanggung jawab.
“Peraturan ini baik untuk ekonomi, tapi kami juga khawatir dengan dampaknya bagi anak muda yang belum mampu mengontrol diri. Kebebasan ini harus dibarengi dengan edukasi,” ujar Putu, seorang warga Jimbaran.
Pengamat kebijakan juga menyarankan perlunya upaya pemerintah dalam memberikan edukasi dan pengawasan ketat terkait konsumsi alkohol yang sehat. Mereka menilai bahwa tanpa langkah preventif yang jelas, dampak negatif dari kebijakan ini bisa mempengaruhi masyarakat luas.
Polemik mengenai kebijakan ini tampaknya akan terus berlanjut, dengan berbagai pihak menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah untuk menyeimbangkan antara pelestarian budaya, peningkatan ekonomi, dan keselamatan sosial. (dra)