Jakarta, suarabali.com – Seperti biasanya, acara talk show Kick Andy kembali menghadirkan orang-orang yang memberi inspirasi. Kali ini, para narasumber yang dihadirkan adalah para disabilitas inspiratif yang patut diteladani.
Narasumber yang dihadirkan, di antaranya, pasangan Risal Assor dan Nurjannah. Dikutip dari laman kickandy.com, pasangan ini datang jauh dari Ternate. Mereka adalah pasangan difabel yang sudah membina rumah tangga sejak tahun 2010. Setelah menikah keduanya mengabdi sebagai guru keterampilan di SLB Centra PK/LK Negeri Sofifi. Nurjannah mengajar menjahit dan tata rias. Sementara Risal mengajar musik.
Selama beberapa tahun menjadi guru honorer, Risal dan Jannah tidak mendapat bayaran. Lalu pada tahun 2013 setelah sekolah pindah ke Sofifi, mereka mendapat pengganti transportasi karena Risal dan Jannah harus menyeberang dengan kapal dari Ternate menuju Sofifi.
Beruntung, selang beberapa waktu kemudian, ongkos kapal untuk menyeberang tidak lagi diminta kepada Risal dan Jannah. Pengabdian dari pasangan difabel ini menggugah hati kepala pelabuhan, sehingga menginstruksikan stafnya untuk membebaskan Risal dan Jannah dari biaya transportasi.
Namun, sejak 2016, dengan alasan ekonomi dan kondisi keluarga, Risal memutuskan berhenti sebagai guru honorer. Kini, dia menjadi guru privat musik dan pelatih drum band. Sementara Jannah terus mengabdi di SLB Centra PK/LK Negeri Sofifi.
Di luar aktivitasnya sebagai guru honorer, sehari-hari Jannah juga membagi ilmu menjahitnya kepada masyarakat di sekitarnya dengan membuka kursus menjahit. Bagi para difabel dan yang tidak mampu, Jannah bahkan menggratiskan biaya kursus.
Untuk mendukung kebutuhan keluarga, Jannah juga menerima pesanan makanan dan membuat makanan ringan yang dijual ke pasar rakyat.
Dari Yogyakarta, hadir seorang tunanetra bernama Harjito. Harjito lahir dengan kondisi fisik sempurna. Namun nahas, saat remaja fungsi kedua matanya berkurang akibat cidera saat bermain sepak bola. Harjito yang saat itu duduk di bangku SMP memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolah.
Dia menjalani hari-harinya dengan berputus asa. Setelah bangkit dari keterpurukannya, Harjito mengikuti sekolah pijat hingga akhirnya kini memiliki panti pijat sendiri.
Harjito tumbuh dari keluarga yang mencintai seni ketoprak. Karena kecintaannya pada ketoprak pula, pada tahun 2002 Harjito menggagas berdirinya kelompok ketoprak tunanetra yang diberi nama Tuntra Budaya.
Bersama Tuntra Budaya, Harjito dan rekan-rekan tunanetra lainnya tampil dalam berbagai pentas. Beberapa lakon yang biasa mereka mainkan, antara lain, Damarwulab, Roro Mendut, Suminten Edan dan masih banyak lagi.
Awalnya, kegiatan Tuntra Budaya mengandalkan uang pribadi dari masing-masing anggota. Namun, kini mereka dibantu Dinas Sosial yang memberikan dana jika mereka mengajukan proposal kegiatan. Sejak tahun 2013, nama Tuntra Budaya berubah menjadi Distra Budaya yang merupakan kepanjangan dari disabilitas netra.
Penampilan ketoprak Distra Budaya ini kemudian menggugah hati seorang anak muda Yogyakarta bernama Wahyu Utami atau yang biasa disapa Uut, untuk mendokumentasikan kegiatan mereka.
Pada tahun 2016, Uut pun mengajukan proposal untuk membuat film dokumenter pendek tentang kelompok ketoprak Distra Budaya dengan judul The Unseen Words. Tak disangka, film berdurasi 27 menit ini berhasil meraih penghargaan sebagai film dokumenter pendek terbaik di ajang FFI 2017. (Sir)