Jakarta, suarabali.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) meminta Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) menghentikan penayangan sejumlah iklan kesehatan di media cetak, media elektronik, dan media digital yang dinilai menyesatkan masyarakat.
Selama 2017, Kemenkes telah melayangkan tujuh surat permohonan penghentian iklan ke KPI dan KPID terkait iklan pengobatan tradisional Jeng Ana, Givana, Eyang Gentar, Mega 6 Far, Herbal Putih, Jeido Power Mat, Iklan Pengobatan Tradisional Chuan Shan Yao Bioin, dan iklan Klinik Zona Terapi.
Sesjen Kemenkes Untung Suseno mengatakan ragam iklan dan publikasi kesehatan sangat mudah ditemukan di media cetak, elektronik, dan media digital. Di televisi misalnya, sering ditemukan berbagai iklan pengobatan tradisional dan alternatif, talkshow kesehatan, obat, perbekalan kesehatan dan rumah tangga (PKRT) hingga produk yang mengklaim bermanfaat kesehatan.
Iklan hoax dapat dicirikan, di antaranya, disampaikan secara berlebihan dan bersifat superlatif. Kemudian, ada testimoni pengguna atau klien dan hadirnya dokter yang tertindak sebagai endorser. Biasanya, pengiklan mengklain proses pengobatan atau produk obat yang dijual bisa menyembuhkan berbagai penyakit. Padahal, proses penyembuhan tergantung kondisi tubuh dan penyakit yang diderita. Semua proses penyembuhan dan obat atau alat yang digunakan tidak bisa disamaratakan.
Selain itu, terkait obat herbal terlebih dahulu dibuktikan secara ilmiah keamanannya. Di antaranya, perlu uji toksisitas akut, kronik, dan teratogenik. Obat herbal juga perlu diuji dosis, cara penggunaan, efektivitas, monitoring efek samping, dan interaksi dengan senyawa obat lain.
Iklan hoax biasanya memberi kesan ilmiah melalui gambar, video, dan grafis berupa anatomi tubuh dan penyakit. Iklan ini memanipulasi keawaman penonton dengan sengaja menimbulkan kekhawatiran pada penyakit tertentu.
Untung mengatakan, iklan dan publikasi kesehatan tersebut tidak hanya melanggar peraturan perundang-undangan dan etika pariwara, tetapi konsumen yang percaya akan tersesat dan bisa mendapatkan dampak buruk yang tak diinginkan. Alih-alih mendapatkan manfaat, sebaliknya konsumen tersesat dengan informasi keliru dan mendapatkan kerugian materi dan non-materi.
“Bahkan, jika awalnya konsumen berniat mencari pengobatan, sebaliknya yang diperoleh penyakit semakin parah, karena tidak mendapatkan pengobatan dan perawatan sebagaimana mestinya,” jelas Untung.
Selain itu, kata Untung, pengawasan iklan dan publikasi kesehatan tidak cukup hanya tingkat hilir, melainkan bersama-sama pada tingkat hulu. Itulah mengapa para pemangku kepentingan dalam nota kesepahaman ini mewakili tingkat hulu dan hilir dari iklan dan publikasi kesehatan.
Selain itu, edukasi dan partipasi publik menyokong besar pada keberhasilan pengawasan iklan dan publikasi kesehatan ini. Hal ini yang mendorong dilaksanakan sosialisasi pengawasan iklan/publikasi bidang kesehatan setelah penandatangan nota kesepahaman.
“Kita sama-sama berharap, maju bersama dalam pemahaman yang sama tentang iklan dan publikasi kesehatan demi melindungi masyarakat dalam pelayanan kesehatan,” kata Untung. (Sir)