Gianyar, Suarabali.com – Cuplikan-cuplikan adegan dalam film hitam putih, menampilkan bentuk-bentuk kesenian Barong yang berkembang di Bali menjadi pembuka timbang pandang “Barong Kunti Sraya” di Bentara Budaya Bali (BBB), Jl. Prof. Ida Bagus Mantra No.88A, bypass Ketewel, Gianyar, Sabtu (12/08).
Dokumentasi-dokumentasi yang ditampilkan antara lain keberadaan Barong Landung, Barong Kebon Kuri, hingga cuplikan pertunjukan Calonarang yang merupakan bagian dari film Gods of Bali (1951). Menurut salah seorang narasumber yang juga budayawan dari Desa Singapadu, I Wayan Dibia, cuplikan scene pertunjukan Calonarang tersebut diambil di pura Mukti, Singapadu sekitar tahun 1950-an.
Adegan yang ditampilkan adalah petakilan dari matah gede yang merupakan bagian dari Calonarang episode “Katundung Ratna Manggali”. Dalam cuplikan itu terekam pula sejumlah tokoh penting desa Singapadu yang mencatatkan sejarah kesenian Topeng serta Barong di Desa Singapadu. Timbang Pandang “Barong Kunti Sraya” ini digelar serangkaian Pameran Topeng “Singapadu: The Power Behind the Mask” yang berlangsung di BBB, 6-13 Agustus 2017.
Dialog ini berangkat dari buku berjudul Barong Kunti Sraya, Ikon Seni Pertunjukan Bali Kontemporer (2014) yang ditulis oleh Ni Luh Swasthi Wijaya Bandem. Sementara film-film yang ditayangkan pada kesempatan tersebut bersumber dari rekaman bersejarah Bali 1928, hasil repatriasi yang dilakukan STMIK STIKOM Bali dan Arbiter Cultural and Traditions New York.
Tayang film ini akan disertai pengantar atau narasi oleh Marlowe Makaradhwaja. Selain I Wayan Dibia, tampil juga sebagai narasumber, Ni Luh Swasthi Wijaya Bandem, dan I Ketut Kodi.
“Penulisan buku ini adalah hasil interview saya kepada beberapa seniman yang terlibat dalam pertunjukan Barong Kunti Sraya serta warga Singapadu yang menjadi saksi hidup pada saat itu“ ungkap Luh Swasthi Bandem. Menurutnya, Barong Ket dengan lakon Kunti Sraya, yang kemudian sering kali disebut sebagai Barong Kunti Sraya, diciptakan pada tahun 1948 oleh tiga serangkai: Ida Cokorda Oka, I Wayan Geria dan I Made Kredek.
Luh Swasthi juga menyebutkan bahwa wisatawan mancanegara lebih mengenalnya dengan sebutan “Barong and Kris Dance”. Karya seni yang dikemas oleh ketiga seniman yang berasal dari Singapadu ini dipentaskan pertama kali di Jaba Pura Desa Singapadu oleh Pamaksan Banjar Sengguan, Singapadu. Adapun tokoh Kunti dalam Barong Kunti Sraya diambil dari tokoh matah gede dalam dramatari Calonarang.
“Penciptaan Barong Kuntisraya ini turut mendorong terciptanya beberapa topeng yang dikreasi oleh I Dewa Putu Kebes, yang digunakan untuk mendukung pertunjukan dramatari Barong Kuntisraya. Termasuk pula terciptanya tari bojog dan celuluk/pangpang oleh I Made Monolan.
Luh Swasthi, mengatakan, keberhasilan yang dicapai grup Barong Sengguan Singapadu tidak hanya disebabkan oleh dukungan seniman-seniman yang mumpuni serta memiliki kemampuan yang nyeraki, tetapi ada rasa kebersamaan untuk mendukung gagasan terciptanya dramatari Barong Kuntisraya.
“Berjuang untuk tetap eksis selama 69 tahun membuktikan bahwa Barong Kunti Sraya memiliki bobot pertunjukan yang monumental. Bentuk dan gaya yang dianut oleh kelompok Barong Kunti Sraya telah melalui proses panjang sehingga pertunjukan barong untuk wisata masih ada sampai kini,” tutur Luh Swasthi.
Hingga awal tahun 1960an, Desa Singapadu adalah satu-satunya daerah di Bali yang memiliki pertunjukkan Barong secara rutin untuk para wisatawan. Tidak heran, bila kini seni-seni tersebut masih dipertahankan. Hampir setiap banjar di lingkungan desa itu memiliki barong yang menandakan pula masih tetap eksisnya dramatari Barong Ket dengan lakon Calonarang yang terkenal serta sudah ada sejak abad ke XIX.
Ketut Kodi, budayawan yang juga seniman pedalangan, menyebut bahwa Barong Kunti Sraya merupakan kebanggaan Desa Singapadu. Hal ini tak lain karena Barong Kunti Sraya merupakan muara dari beberapa kesenian yang hidup sebelumnya di Desa Singapadu. Seperti dramatari Gambuh,Wayang Wong Parwa, Dramatari Calonarang, dramatari Bebarongan, Janger Arjuna Tapa dan Arja Sampik. Dalam pertunjukannya, Barong Kunti Sraya memadukan unsur-unsur bebarongan (Calonarang), Palegongan dan Pagambuhan.
Dari tradisi Barong Ket ini kemudian lahir penari-penari Barong Ket (juru bapang). Di antara nama-nama yang masih diingat oleh masyarakat setempat adalah I Ketut Rujag, I Wayan Monolan dan I Made Gina. Dari generasi berikutnya muncul I Wayan Dibia dan I Nyoman Rawos yang merupakan binaan langsung dari I Made Kembur dari Bungkasa Badung.
Generasi penari barong dan yang paling muda adalah I Made Musliana yang tak lain cucu dengan cerita Sudamala, yaitu cerita mengenai ruwatan. Dalam menyusun pembabakan pertunjukan dan mengadaptasi cerita Kuntisraya ini, Kredek tidak menggunakan semua tokoh yang ada dalam cerita, dan alur ceritanya tidak diikuti secara naratif, tetapi dipadatkan untuk mengetengahkan esensinya saja. Tokoh-tokoh dalam teks cerita, seperti Kalantaka dan Kalanjaya, tidak dimunculkan secara visual dalam pentas, tetapi hanya magedongan (diceritakan saja lewat dialog).
“Penciptaan Barong Kuntisraya ini tidak hanya mewariskan sebuah legasi seni, tetapi dari segi ekonomi, telah memberikan penghidupan kepada grup-grup barong yang melakukan pertunjukan wisata setiap harinya, termasuk para pelaku pariwisata yang menjadikan pertunjukan ini sebagai hiburan utama untuk para tamu yang datang dari berbagai belahan dunia,” tutup Dr. Luh Swasthi Bandem.(CEL)