BULELENG, suarabali.co.id – Angka golput di Buleleng menjadi sorotan. Sebab jumlah cukup tinggi, mencapai ratusan ribu jiwa.
Saksi dari paslon 01 menengarai, distribusi C-pemberitahuan yang kurang optimal, menjadi pemicu tingginya angka golput.
Pada Pilkada Buleleng 2024, tingkat partisipasi pemilih menyentuh angka 61,69 persen. Lebih tinggi ketimbang partisipasi pada Pilkada Buleleng 2017 yang hanya 54 persen.
Mengacu data KPU Buleleng, dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 594.619 jiwa, hanya 366.818 orang yang menggunakan hak pilihnya. Itu berarti angka golput di Buleleng mencapai 38,31 persen dari total jumlah pemilih.
Menanggapi hal tersebut, Ketua KPU Bali, I Dewa Agung Gede Lidartawan mengatakan, jajarannya telah bekerja dengan maksimal. Terutama dalam distribusi formulir C-pemberitahuan.
Lidartawan menyebut, di Buleleng hanya 16.978 lembar formulir C-pemberitahuan yang tidak terdistribusi pada pemiliknya.
Hal itu terjadi gegara 2.365 orang pemilih telah meninggal dunia, 1.338 orang pemilih pindah domisili, 176 orang pemilih mengajukan proses pindah memilih, 5.111 orang tidak dikenal, 72 orang berubah status menjadi tidak memiliki hak pilih, dan 7.916 orang lain tidak ditemukan.
“KPPS kami itu pagi, siang, sore mendistribusikan C-pemberitahuan. Yang tidak terdistribusi itu hanya 2 persen dari total DPT,” kata Lidartawan.
Ia mengklaim, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Buleleng 2024 sudah jauh meningkat bila dibandingkan dengan partisipasi pemilih pada Pilkada Buleleng 2017 lalu.
Apabila dibandingkan dengan Pemilu 2024, praktis data partisipasi pemilih tidak sebanding. Karena dalam Pemilu 2024, pemilih yang ada di luar negeri juga ikut terdata.
“Pemilu itu kan orang yang kerja di luar negeri, di kapal pesiar, juga bisa menyalurkan hak pilih. Tapi di Pilkada, hanya mereka yang tinggal di Buleleng yang bisa menyalurkan hak suara,” tegasnya.
Ketua KPU Bali, Gede Lidartawan menyebut pada Pilkada Buleleng, banyak warga Buleleng yang tinggal di luar daerah, enggan pulang untuk memilih. Lidartawan mengklaim hal itu tidak bisa dibebankan kepada KPU. Karena tidak memilih juga menjadi hak.
“Nanti kami akan evaluasi, apa penyebabnya mereka tidak mau memilih. Sehingga kami tahu, bagaimana strategi yang kami harus lakukan,” demikian Lidartawan.