JAKARTA, suarabali.co.id – PARA Syndicate bersama Nation and Character Building Indonesia (NCBI)
menggelar diskusi dan bedah buku berjudul “Rondahaim: Sebuah Kisah Kepahlawanan
Menentang Penjajahan di Simalungun”.
Diskusi ini mengangkat tema “Tuan Rondahaim Saragih, Pahlawan Nasional dari Simalungun”, dan berlangsung pada Rabu, 23 Oktober 2024, di Kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan.
Acara ini menghadirkan narasumber seperti Sejarawan Senior Asvi Warman Adam,
Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Pertahanan
(UNHAN) Herlina JR Saragih, serta Penulis Sejarah dan Dosen Sekolah Tinggi Filsafat
Theologi (STFT) Pdt. Martin Lukito Sinaga. Diskusi dimoderatori oleh Juliaman Saragih,
Koordinator Komunitas Masyarakat Simalungun sekaligus Direktur Eksekutif NCBI.
Acara dibuka oleh Ketua PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, dan dilanjutkan dengan
sambutan dari tokoh Simalungun seperti Bungaran Saragih (Menteri Pertanian 2000-
2004) dan Jopinus Ramli Saragih (Bupati Simalungun 2010-2015 dan 2016-2021).
Diskusi diakhiri dengan penutupan oleh Sarmedi Purba, Ketua Umum DPP Pemangku
Adat dan Cendekiawan Simalungun (PACS) serta Partuha Maujana Simalungun (PMS).
Dalam diskusi tersebut, Herlina JR Saragih menegaskan bahwa pengusulan gelar
pahlawan nasional untuk Rondahaim Saragih bukan hanya sekadar bentuk penghargaan
bagi masyarakat Simalungun, melainkan bagian dari upaya literasi sejarah bagi seluruh
bangsa Indonesia. Rondahaim, lanjutnya, memperjuangkan kebebasan wilayah
Simalungun dari penjajahan Belanda, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap
kemerdekaan Indonesia.
“Rondahaim adalah ahli strategi perang gerilya yang dijuluki Napoleon-nya Orang Batak.
Pengakuan ini bukan datang dari komunitas lokal saja, melainkan juga dari forum
internasional. Ini semakin menguatkan bahwa Rondahaim layak diusulkan sebagai
pahlawan nasional,” jelas Herlina.
Pdt. Martin Lukito Sinaga menjelaskan bahwa Rondahaim mengalami perkembangan
dalam hal patriotisme, dari yang awalnya hanya berfokus pada kecintaan terhadap Simalungun, menjadi cinta kepada Indonesia.
“Ini bukan hanya soal mempertahankan Simalungun, tetapi melibatkan kolaborasi militer yang meluas dari Aceh hingga Semenanjung Malaya. Rondahaim juga menyadari bahwa kolonialisme tidak hanya
menyoal kekuatan militer, tetapi juga penguasaan ekonomi,” ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu, Rondahaim memahami bahwa perjuangan melawan
kolonialisme juga harus mencakup perebutan kembali sumber daya alam dari tangan
penjajah.
“Dia melihat bahwa perjuangan untuk sumber daya alam adalah kunci menuju
kemerdekaan rakyatnya,” tambah Martin.
Asvi Warman Adam menekankan bahwa sejak era Reformasi, pengusulan gelar pahlawan
nasional harus memenuhi kriteria umum dan khusus. Namun, ia juga mencatat bahwa
meskipun syarat-syarat tersebut terpenuhi, tidak semua usulan selalu diterima.
“Ada faktor lain seperti situasi politik dan waktu pengusulan. Misalnya, pengangkatan
pahlawan nasional cenderung lebih banyak dilakukan menjelang pemilihan umum. Selain
itu, ada faktor lobi politik yang juga memengaruhi proses ini,” jelas Asvi.
Dalam konteks Rondahaim, Asvi menilai bahwa ia memiliki peran istimewa dalam sejarah
perjuangan melawan kolonialisme Belanda.
“Rondahaim tidak pernah kalah dalam pertempuran, dan kiprahnya didukung oleh banyak arsip sejarah, baik yang berbahasa Belanda, Indonesia, maupun tradisi lisan Simalungun,” katanya.
Sarmedi Purba, dalam penutupannya, menyampaikan bahwa Rondahaim adalah tokoh
inspiratif yang strateginya, khususnya dalam perang gerilya, telah banyak diadopsi dalam
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Perjuangan Rondahaim bukan hanya relevan pada masanya, tetapi juga berpengaruh besar terhadap strategi gerilya yang digunakan selama perjuangan kemerdekaan tahun 1945,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pahlawan nasional bukan sekadar gelar, melainkan pengakuan
atas pengorbanan besar demi bangsa.
“Kami berharap pemerintah menunjukkan komitmennya untuk menjadikan Rondahaim Saragih sebagai pahlawan nasional tahun ini,” tutup Sarmedi dengan optimis