Jakarta, suarabali.com – Ketua SETARA Institute Hendardi menyoroti kekesalan Presiden Joko Widodo menanggapi tuduhan terhadap dirinya yang diidentikkan sebagai pendukung PKI dan membiarkan kader-kader PKI bangkit dengan kata ‘gebuk’.
Diberitakan sebelumnya, Presiden Jokowi merasa jengkel karena sampai saat ini dirinya masih saja diisukan terkait dengan Partai Komunis Indonesia ( PKI). Kejengkelan itu diungkapkan Presiden Jokowi saat berpidato di acara pembagian 15.000 sertifikat bagi masyarakat di Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Selasa (6/3/2018).
“Saya saja, sampai sekarang masih ada yang bilang, ‘Pak Jokowi PKI’. Banyak yang seperti itu. PKI saja dibubarkan 1965. Saya lahir 1961. Berarti ada PKI balita. Lucu banget itu. Ngawur banget itu,” kata Jokowi seperti diberitakan kompas.com, 6 Maret 2018.
Seperti diketahui, kepemimpinan Jokowi menghadapi serangan serius stigma mendukung PKI dan membiarkan kader-kader PKI bangkit dan menduduki sejumlah jabatan strategis. Sejak menjelang Pemilu 2014, isu ini terus diembuskan oleh lawan politik Jokowi yang secara sistematis akan berpotensi melemahkan elektabilitas Jokowi pada Pilpres 2019.
“Bagaimana pun, di era pascakebenaran (post-truth era), hoaks yang diproduksi secara sistematis dan berkelanjutan akan dianggap kebenaran oleh para pembaca atau penerima pesan. Karena itu, ekspresi Jokowi dapat dipahami sebagai upaya menolak pengarus-utamaan (mainstreaming) hoaks PKI itu agar tidak menjadi kebenaran palsu,” kata Hendardi dalam siaran persnya yang diterima suarabali.com, Kamis (15/3/2018).
Hendardi menilai, hoaks semacam itu merupakan kerja politik oleh pihak-pihak yang disengaja (by design) untuk tujuan-tujuan politik tertentu. Hoaks itu bisa dilakukan oleh pendukung parta-partai politik, bisa juga oleh kelompok profesional yang dipekerjakan sebagai pihak yang bertugas melemahkan legitimasi kepemimpinan Jokowi. “Sebagai bagian dari bentuk tindakan pelanggaran hukum, penyebar hoaks harus ditindak secara hukum,” tegas Hendardi.
Namun demikian, menurut dia, cara polisi merespons kegelisahan Jokowi tidak boleh kontraproduktif, sehingga menunjukkan institusi Polri berpolitik. Polri harus memastikan penindakan atas penyebar hoaks dan jejaring intelektualnya murni berdasarkan fakta-fakta peristiwa.
“ Langkah itu pun harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, sehingga tidak terjadi generalisasi penindakan, yang justru akan melemahkan independensi dan netralitas Polri,” katanya.
Untuk menyikapi hal tersebut, Hendardi menyarankan agar Polri memilih pendekatan preventif yang demokratik . Sebab, pendekatan represif yang tidak terukur hanya menyenangkan penyebar hoaks dan kekuatan-kekuatan yang mempolitisasi isu PKI di tengah kontestasi politik.
“Pendekatan represif ini pula yang justru akan mengoyak dukungan kelompok prodemokrasi pada Jokowi dan mengikis elektabilitasnya saat kontestasti politik itu tiba,” ujarnya.
Sejalan dengan langkah penegakan hukum, kata Hendardi, edukasi publik untuk meningkatkan literasi media menjadi tugas banyak pihak. Bahkan, publik dituntut menjadi bagian dari pemberantas hoaks dengan senantiasa kritis membaca dan menyimak berita, tidak menyebarkan hoaks, dan melaporkan pihak-pihak yang memproduksi hoaks. “Sebab, hoaks adalah sampah demokrasi,” pungkas Hendardi. (Tjg/Sir)