Jakarta, suarabali.com – Nilai tukar rupiah kian mengkhawatirkan karena jatuh pada level terendah sejak krisis ekonomi 1998, yaitu nyaris Rp 15.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Saat yang sama Indonesia pun mengalami defisit ganda berupa defisit perdagangan dan defisit fiskal.
Dilansir dari laman dpr.go.id, anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan mengungkapkan, nilai tukar rupiah sudah turun 8,7 persen sejak awal reformasi. Padahal, Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga sebesar 125 basis points sejak bulan Mei. Intervensi BI akhirnya membuat cadangan devisa turun 10,5 persen menjadi 111,9 miliar dolar AS.
“Penguatan dolar AS menimbulkan kekhawatiran terhadap kemampuan Indonesia membayar utang dalam dolar. Sementara kerawanan rupiah juga dipicu oleh melemahnya ekspor dan tingginya pertumbuhan utang untuk membiayai defisit,” jelas Anggota F-Gerindra DPR RI ini, Rabu (5/9/2018).
Di sisi lain, kata dia, utang Indonesia sudah mencapai 34 persen dari PDB dan defisit neraca berjalan sudah sebesar 8 miliar dolar AS sampai bulan Juli 2018.
“Tekanan terhadap nilai tukar rupiah utamanya disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang realistis, sehingga timbul double deficit, trade deficit dan financial deficit,” tambah Heri.
Banyak persoalan pelik lainnya yang disampaikan Heri menyangkut kondisi ekonomi mutakhir yang membebani Indonesia. Misalnya, subsidi BBM semakin tinggi, membanjirnya impor, pembiayaan infrastruktur dalam mata uang asing, dan defisit APBN yang dibiayai utang.
Lebih jauh mantan Wakil Ketua Komisi VI ini memaparkan, defisit fiskal pernah mencapai level tertinggi pada kwartal III 2015 (6 persen) dan kwartal I 2016 (4,3 persen). Namun, saat itu private sector masih surplus. Sementara saat ini private sector balance dan belum bisa kembali ke level sebelum 2011.
“Pemerintah perlu menyesuaikan belanja negara secara lebih tepat sasaran, bila perlu di kwartal III atau IV fiscal balance bisa surplus untuk menjaga CA, defisit terkendali,” harapnya. (*)