Jakarta, suarabali.com – Pelaporan Rocky Gerung ke Polda Metro Jaya karena pernyataannya yang kontroversial tentang kitab suci membuat Ketua Setara Institute Hendardi angkat bicara. Apalagi, Rocky Gerung merupakan akademisi UI yang juga termasuk pendiri Setara Institute.
Hendari menilai pelaporan Rocky Gerung ke polisi kembali mempertegas bahwa delik penyebaran kebencian atas dasar SARA dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan delik penodaan agama dalam Pasal 156a KUHP adalah pasal karet yang tidak memiliki batasan presisi pada jenis-jenis tindakan, seperti apa delik itu bisa diterapkan.
“Dengan rumusan yang sumir, delik-delik semacam itu bisa menjerat siapapun,” tegas Hendardi dalam rilisnya kepada suarabali.com, Kamis (12/4/2018).
Menurut dia, sejak awal Setara Institute menganggap bahwa ketentuan-ketentuan di atas adalah bermasalah dan memasung kebebasan dan hak asasi manusia. Kasus Rocky dan Ade Armando adalah contoh nyata terbaru bagaimana kebebasan berpendapat dipasung dan bisa dikriminalisasi.
“Apa yang dikatakan Rocky tentang diksi fiksi adalah bagian dari pengetahuan ilmiah yang bisa diuji secara logis dalam ilmu logika. Sebagai pengetahuan, maka Rocky bebas menyampaikannya dan bahkan justru memberikan pencerahan banyak orang yang selama ini melekatkan keburukan dan sifat negatif pada diksi yang netral itu,” paparnya.
Sebagai pengetahuan, kata Hendardi, maka seyogyanya pandangan Rocky cukup dijawab dengan pandangan yang membantahnya, bukan dengan pelaporan pidana. Apalagi pernyataan itu disampaikan dalam forum diskusi dan tegas sekali tidak ada pretensi dan niat jahat merendahkan agama dan kelompok.
“Kepolisian semestinya tidak gegabah memproses laporan-laporan kasus seperti itu, karena kebabasan sesungguhnya hak setiap warga negara yang bisa dinikmati dan bukan dipasung. Pembatasan kebebasan berpendapat akan mematikan nalar kritis warga yang justru dibutuhkan untuk memperkuat dan mendewasakan kita berdemokrasi,” ungkapnya.
Agar tidak menjadi keranjang sampah, Hendardi menyarankan agar Polri memiliki pedoman kerja yang rigid dan akuntabel dalam menangani laporan warga. Apalagi, kata dia, aporan-laporan kasus seperti itu banyak didasari oleh motif-motif politik.
“Polri bukan alat konstestasi politik, maka kecermatan menangkap motif pelaporan adalah bagian kunci yang harus menjadi pertimbangan Polri dalam bertindak. Jika tidak peka dan presisi dalam bertindak, trial by the mob akan menjadi pola penegakan hukum di Republik ini,” pungkasnya. (*/Sir)