Kupang, suarabali.com – Komandan Korem 161/Wira Sakti Kupang Brigjend TNI Teguh Muji Angkasa mengatakan TNI dan pemerintah Indonesia terus melakukan langkah konkret untuk menyelesaikan batas negara di segmen Noelbes-Citrana, terutama di wilayah Naktuka, dekat Kecamatan Amfoan Timur, Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang selama ini telah menjadi wilayah status quo.
Wilayah status qou di Naktuka yang sesuai dengan regulasi tidak boleh dibangun sarana apapun oleh dua negara, Indonesia dan Timor Leste, malah sudah dilanggar.
“Pemerintah Timor Leste bahkan sudah membangun sejumlah fasilitas di Naktuka, antara lain fasilitas pertanian dan lainnya. Padahal, sesuai perjanjian 1904 hal itu tidak dibolehkan. Ini kan akan memicu konflik,” kata Brigjen Teguh kepada wartawan sebelum pelaksanaan Focus Group Discussion di Kupang, Senin (7/5/2018).
Selain membangun sejumlah fasilitas di Naktuka sebagai wilayah status quo, pemerintah Timor Leste juga memfasilitasi kehidupan 69 kepala keluarga (KK) di wilayah yang jaraknya sekitar 1 kilometer dari Kecamatan Amfoan iu dengan identitas kependudukan aliss KTP Negara Timor Leste.
“Juga setiap tiga bulan setiap kepala keluarga di Naktuka itu mendapat biaya Rp 1.800.000,” katanya.
Menurut Danrem, semua yang dilakukan pemerintah Timor Leste kepada warga di Naktuka, wilayah status quo itu secara de facto dan de jure sudah berada di posisi atas angin.
“Pemerintah Timor Leste dalam hal ini sudah menang satu langkah meskipun telah melanggar Traktat 1904 yang ditandatangani oleh pemerintah Belanda dan Portigis waktu itu,” katanya.
Dalam konteks itu, TNI sudah melakukan sejumlah langkah untuk penyelesaian perbatasan dengan langkah diplomasi untuk tetap menjaga kedamaian di perbatasan. Untuk pelanggaran pembangunan di wilayah status quo, kata dia, TNI sudah mengajukan keberatan ke Timor Leste, tetapi tak pernah diambil peduli.
“Ini kan akan sangat memantik konflik dan tentu tidak kita inginkan. Bagaimanapun penduduk di sana (Naktuka) masih memiliki hubungan darah dan kerabat baik dengan warga Indonesia di Amfoan maupun dengan penduduk Timor Leste di Ambeno,” katanya.
Itu sebabnya, TNI merancang kegiatan FGD yang melibatkan kaum akademisi dari berbagai bidang untuk membahas penyelesaian yang lebih baik dan damai. FGD ini, kata Danrem, juga sebagai tindak lanjut ari kesepakatan para raja dua negara di perbatasan yang dilakukan dalam pertemuan 11 November 2017 yang melibatkan ‘Liurai Sila, Sonbai Sila, Benu Sila, Afo Sila’ demi rekonsiliasi di perbatasan.
“Kami sangat berharap agar FGD ini bisa menjadi salah satu dasar ilmiah bagi penyelesaian batas dua negara dengan tetap menghargai segala bentuk kebiasaan adat warga di batas negara yang ada,” katanya.
Sementara itu Rektor Universitas Negeri Nusa Cendana (Undana) Kupang Prof. Ir. Fredrik L. Benu, M.Si, PhD, dalam sambutan pembuka mengatakan, bicara tentang perbatasan negara untuk Indonesia Timor Leste, harus dikesampingkan hukum atau norma formalnya.
“Kita abaikan dulu hukum formalnya. Mari kita lakukan pendekatan budaya dan adat dengan tetap menghargai ulayat masing-masing daerah,” katanya.
Artinya, ketika bicara soal batas negara secara formal, maka ikut juga dibicarakan tentang hak ulayat masing-masing daerah. Dengan demikian, maka akan memberi satu titik gambaran penyelesaian tapal batas yang lebih damai dan berkeadilan.(*/Sir)