Denpasar, suarabali.com – Pustaka Bentara membedah buku kumpulan puisi bertajuk Antara Kita karya Ketut Syahruwardi Abbas di Bentara Budaya Bali, Gianyar, Bali, Sabtu (23/6/2018).
Sebelumnya, kumpulan 72 puisi karya penyair yang lahir di Desa Pegayaman, Buleleng ini telah dikuliti di dua tempat di Singaraja, yakni di Markas Dermaga Seni Buleleng (DSB) yang digagas Gede Artawan dan di Rumah Belajar Mahima yang digagas suami-istri Made Adnyana Ole dan Sonia Piscayanti.
“Terus terang saya sangat terharu atas antusiasme teman-teman pecinta sastra di Buleleng. Gairah dan kecintaan mereka sangat besar terhadap pertumbuhan sastra modern di sana. Potensi anak-anak muda di sana juga luar biasa. Kita harapkan tokoh-tokoh sastra seperti Gede Artawan, Made Adnyana Ole, Kadek Sonia Piscayanti, dan dosen-dosen di lingkungan universitas,” ujarnya.
“Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya jika pada waktu hampir bersamaan, sore di DSB dan malam di Mahima, terkumpul puluhan orang yang siap membaca serta mendendangkan sajak-sajak yang termuat dalam buku ‘Antara Kita’. Mereka gembira menatap puisi, hampir sama seperti kegembiraan mereka menyantap rujak di akhir acara,” lanjut penyair yang juga dikenal sebagai wartawan senior yang pernah memimpin berbagai media di Bali dan Jakarta.
Abbas berharap kegembiraan yang sama juga terjadi di Bentara Budaya Bali (BBB) “Sebab, pada dasarnya, puisi haruslah menyehatkan jiwa dan raga. Ia harus dihadapi dengan perasaan lapang dan gembira. Walaupun, mungkin, ekspresi kegembiraan itu bisa beragam,” tutur Abbas.
Lelaki yang pernah bekerja di perusahaan advertising di Jakarta sebagai Creative Director itu mengatakan, puisi –juga jenis kesenian lain—memberikan ruang yang sangat luas untuk rekreasi jiwa yang penuh warna.
“Jika politik dan ekonomi menekan jiwa kita, bukalah buku puisi,” tambah Abbas sambil tertawa.
Abbas tergolong penyair senior. Ia satu angkatan dengan, misalnya, GM Sukawidana, Adi Ryadi, Nyoman Wirata, Raka Kusuma, dan lain-lain, yang sajaknya mulai masuk ruang Budaya Bali Post pada masa yang sama. Kemudian mereka sama-sama bergabung dengan Sanggar Minum Kopi. Para penyair itu rata-rata telah menerbitkan buku puisi jauh sebelum Abbas melakukannya.
“Ya, saya sangat terlambat menerbitkan kumpulan puisi,” kata Abbas.
Dalam soal ini, ia pun mengutip salah seorang temannya, Nyoman Wirata, seorang pelukis sekaligus penyair, yang menulis di facebook.
“Akhirnya kau terbitkan juga, Bas. Tadinya aku tidak percaya. Bukan oleh kemampuan kesenimananmu, tetapi oleh kesibukanmu mondar-mandir Jakarta-Denpasar.” Kira-
kira seperti itulah Nyoman Wirata menulis.
“Untuk sebagian, Nyoman Wirata benar. Kendati saya terus menulis sajak, tetapi setelah jadi, sajak-sajak itu tidak terurus. Sangat banyak sajak yang telah dimuat di berbagai media massa, tetapi bertahun kemudian tidak saya temukan lagi. Persoalan saya, belakangan saya sadari adalah pendokumentasian. Tetapi lebih dari itu, terus terang saya tidak terlalu punya keberanian membukukan sajak-sajak saya. Saya punya semacam penyakit, selalu tidak percaya diri melihat karya-karya saya sendiri,” tutur Abbas.
Namun, atas desakan teman-temannya, akhirnya penyair yang juga menulis cerpen, novel, dan esai ini “berani” juga menerbitkan “Antara Kita”.
Menurutnya, sebuah buku puisi bisa menjadi semacam bukti sejarah bahwa di muka bumi ini pernah ada seorang Ketut Syahruwardi Abbas yang gemar menulis puisi.
Tentang buku “Antara Kita”, Abbas mengaku inilah sajak-sajak yang memiliki kesamaan proses penulisan, yakni lahir dari sebuah interaksi. Hampir semua sajak yang dimuat di sana merupakan reaksi Abbas atas apa yang bersentuhan dengan dirinya, baik secara fisik maupun kejiwaan. (Val)