Denpasar, suarabali.com – Kondisi bisnis di Bali pada semester pertama tahun 2018 mengalami kelesuan akibat erupsi Gunung Agung dan Gempa Lombok. Total kredit yang disalurkan pada periode tersebut hanya Rp 83,9 triliun atau tumbuh 4,45 persen. Jumlah itu menurun dibanding tahun 2017.
“Para pengusaha memilih tidak melakukan ekspansi bisnis akibat dampak erupsi Gunung Agung dan gempa Lombok. Kondisi ini melesukan segala sektor ekonomi di Bali,” kata Kepala OJK Perwakilan 8 Regional Bali-Nusra Busta Hizbullah kepada wartawan di Denpasar, Selasa (28/8/2018).
Menurut dia, pertumbuhan kredit pada semester pertama tahun 2108 yang hanya mencapai 4,45 presen merupakan dampak erupsi Gunung Agung dan gempa di Lombok, NTB. Pertumbuhan yang rendah, kata dia, menyebabkan ekonomi berjalan kurang lancar. NPL yang cenderung naik 3,73% dibandingkan tahun lalu 2,42%.
“Ini harus jadi perhatian, karena kenaikan jumlah kredit macet di Bali,” katanya.
Hizbullah memaparkan, penyaluran kredit di Bali sebesar Rp 83,9 triliun. Penyaluran kredit terbesar ada di Kota Denpasar 54,5 persen,karena Denpasar yang paling banyak kegiatan bisnisnya. Kedua Kabupaten Badung sebesar 14,4 persen, karena pusat industri wisata. Ketiga Kabupaten Buleleng 8,39 persen.
Sedangkan pertumbuhan kredit di Bali terbesar ada di tiga kabupaten, yaitu Buleleng tumbuh 16,55 persen setahun, Kabupaten Klungkung 10,68 persen, Kabupaten Bangli 7,69 persen.
Sementara lapangan usaha penerima kredit terbanyak adalah konsumtif (ukan lapangan usaha) yaitu 38,06 persen. Biasanya kredit konsumtif untuk KPR. Sektor kedua adalah perdagangan besar dan eceran yaitu 31,62 persen, akamin 8,9 persen. Sehingga, penyaluran kredit ke sektor produktif rendah.
Daya serap penyaluran kredit yang rendah, karena ekonomi Bali belum sepenuhnya pulih akibat erupsi Gunung Agung. Di samping itu, adanya bencana gempa bumi di Lombok juga memengaruhi perekonomian di Bali. Penyebab lain daya serap kredit rendah adalah dampak ekonomi global seperti persaingan dagang antara Amerika dan Cina. (*)