Denpasar, suarabali.com – Ketua Pembina Yayasan Dwijendra Denpasar berinisial dr IKK, bersama seorang anggotanya berinisial NSN dilaporkan ke Direktorat Reserse dan Kriminal Umum (Dit Reskrimum) Polda Bali, Senin (26/2/2018). Keduanya diduga menyelewengkan dana yayasan hingga Rp1 miliar.
Penyalahgunaan uang yang dipungut dari para siswa tersebut dilakukan sejak tahun 2013 dan baru dilaporkan tahun 2018. Penyebabnya, pihak sekolah dan ketua yayasan selalu berkoordinasi dan keduanya berjanji akan membayar pengambilan uang tersebut.
Mereka dilaporkan oleh I Nyoman Ledang Asmara yang mewakili Komite Sekolah dengan nomor laporan polisi; LP/73/II/2018/Bali/SPKT.
Ledang Asmara didampingi kuasa hukumnya, Siti Sapurah, Yulius Benyamin Seran, dan Hari Purwanto, menjelaskan, dana yayasan tersebut berasal dari setoran SPP yang dipungut dari para siswa yang sekolah di Dwijendra, mulai TK, SD, SMP, SMA, dan SMK. Total siswanya lebih dari 4.000 orang. Itulah dasar pihak Komite Sekolah untuk melapor ke Polda Bali.
“Alasan kami melaporkan ketua pembina yayasan dan satu orang anggotanya ini, karena dana yayasan itu berasal dari kami selaku orangtua siswa. Anak-anak kami yang membayar SPP,” ungkap Ledang Asmara.
Dugaan penyelewengan dana yayasan sebesar itu diduga dilakukan oleh kedua terlapor sejak tahun 2013 sampai 2017. Modusnya, terlapor mengambil secara bertahap, mulai dari yang terkecil Rp 250 ribu hingga Rp 650 juta. Menariknya, sesuai keterangan dalam kuitansi bendahara, keperluan pengambilan uang tersebut untuk biaya servis mobil, transportasi ke Jakarta, dan perbaikan garasi.
“Bahkan, diduga juga untuk membeli rumah. Karena saat diminta untuk mengembalikan uang, ketua pembina yayasan bilang tunggu rumahnya laku terjual dulu, karena uangnya dipakai untuk membangun rumah. Kalau ini, menurut pengakuan sendiri oleh terlapor. Sedangkan lainnya, berdasarkan keterangan di kuitansi catatan bendahara,” terang Siti Sapurah, kuasa hukum Ledang Asmara.
Kuasa hukum lainnya, Benyamin Seran, mengatakan kasus ini tidak harus sampai ke meja hijau. Namun, ketua pembina yayasan selalu bersikap otoriter. Dia mengatakan dirinya anak dari pendiri sekolah Dwijendra sebelumnya, sehingga berhak menggunakan uang yayasan layaknya perusahaan. Terlapor juga kerap mengancam ketua yayasan agar tidak mengeluarkan uang untuk pembangunan gedung sekolah SMA dan SMK.
“Saat ini, yayasan sedang bangun gedung baru untuk SMA dan SMK. Kalau setiap kali ditanya oleh ketua yayasan soal dana yayasan ini, yang bersangkutan mengancam, bahkan tidak mau tanda tangan pengeluaran uang untuk pembangunan gedung baru itu. Ketua yayasan sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi tidak bisa. Bahkan ketua yayasan sendiri telah melaporkan kasus ini ke Polda Bali, tetapi sampai saat ini belum ada peningkatan. Sehingga, pihak Komite sekolah berinisiatif untuk melaporkan juga ke Polda Bali, karena dana yayasan itu bersumber dari para siswa,” ujarnya.
Sementara IKK, salah satu terlapor saat dikonfirmasi melalui telepon, membenarkan kasusnya dilaporkan ke Polda Bali. Namun, ia tidak bisa memberikan keterangan kepada media secara detail. Alasannya, yang terlapor ada dua orang dan dirinya harus berkoordinasi dulu dengan terlapor lainnya sebelum memberikan keterangan kepada media.
“Ya, saya sudah tahu kalau saya bersama satu anggota pembina lainnya dilaporkan ke Polda Bali, karena dugaan melakukan penyimpangan penggunaan uang yayasan. Dan, saya tidak bisa memberikan penjelasan, karena ada teman pembina yang ikut dilaporkan,” ujarnya.
Dia juga mengaku di Yayasan Dwijendra, ada 6 orang pembina dan semua harus dimintai keterangan terkait dengan kasus itu.
Saat ini, ada 4.000-an siswa di Yayasan Dwijendra, mulai dari TK, SD, SMP, SMA dan SMK. Berdasarkan aturan, SMA dan SMK tidak boleh satu atap dengan TK, SD, SMP. Untuk itu, yayasan sedang membangun gedung baru untuk SMA dan SMK di luar lokasi sekolah saat ini. Namun, pembangunan gedung baru itu tersendat, karena persoalan biaya yang disalahgunakan oleh kedua terlapor.
“Kita khawatir kasus ini akan membuat goncangan psikologis pada ribuan anak yang sekolah di Dwijendra. Apalagi, kasus ini terpublikasi secara meluas. Selain itu, bila tahun ajaran baru masih terjadi satu atap antara TK, SD, SMP, maka Yayasan Dwijendra dilarang menerima siswa baru. Dampak psikologisnya, anak dan orangtua murid pasti terganggu,” ujar Siti Sapura. (Ade/Sir)