Denpasar, suarabali.com – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Denpasar dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali mengecam tindakan jajaran Polda Bali yang melarang jurnalis melakukan kegiatan jurnalistik (peliputan). Padahal, jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik sudah sesuai prosedur. Bahkan, jurnalis mendapatkan informasi peliputan justru dari Kepolisian Daerah Bali.
Anggota Polda Bali melarang dan mengintimidasi dua jurnalis, yakni Wayan Sukarda (Reuters TV) dan Miftahuddin Mustofa Halim (fotografer Radar Bali). Bahkan, oknum anggota Polda Bali menghapus paksa foto-foto yang terekam di dalam kamera jurnalis tersebut.
Katua AJI Kota Denpasar Hari Puspita mengataka, peristiwa pelarangan dan intimidasi itu bermula ketika Kepala Urusan Kemitraan Subbidpenmas Bidang Humas Polda Bali Kompol Ismi Rahayu menyampaikan informasi kepada jurnalis tentang rencana penggerebekan ratusan warga negara Tiongkok yang diduga melakukan tindakan penipuan secara online di empat lokasi.
Berdasar informasi tersebut, Miftahuddin M. Halim, jurnalis foto Radar Bali, melakukan kegiatan peliputan ke tempat kejadian perkara (TKP) 1 di Jalan Tukad Badung No. 22. Namun, setelah ditunggu cukup lama, tidak ada tanda-tanda aparat kepolisian melakukan penggerebekan di lokasi tersebut sebagaimana diinformasikan. Kemudian, datang jurnalis Kompas, Cokorda Yudistira, ke lokasi tersebut.
Lantaran cukup lama menunggu tak juga ada kejelasan, maka Cok dan Miftah memutuskan menuju ke lokasi 4 di Desa Kutuh, Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Ketika Miftah dan Cok sudah berangkat menuju lokasi 4 di Jalan Darmawangsa Gang SDN 2 Kutuh No. IX, baru muncul informasi bahwa lokasi 1 yang disebutkan Ismi kurang lengkap. Yang benar adalah Jalan Tukad Badung XXI nomor 22.
Ketika tiba di lokasi 4, ternyata sudah banyak anggota kepolisian yang berjaga di luar pagar sebuah rumah. Sebagian anggota kepolisian lainnya berada di dalam rumah yang dihuni puluhan warga negara Tiongkok. Ketika baru tiba, Miftah juga ditanya dari mana oleh anggota kepolisian. Lalu, Miftah menunjukkan kartu identitas pers (ID Pers).
Sebagai jurnalis, Miftahuddin melakukan pengambilan foto (memotret) suasana penggerebekan dari luar rumah menggunakan kamera smarthphone. Seketika itu, dua anggota kepolisian mendatangi Miftahuddin. Salah satu anggota tersebut meminta agar Miftahuddin tidak memfoto. Anggota polisi ini juga meminta Miftahuddin menghapus foto suasana penggerebekan tersebut.
Belum sempat Miftahuddin menghapus, anggota polisi ini mengambil smartphone tersebut, lalu menghapus sendiri foto-foto tersebut.
Hal serupa juga dialami oleh jurnalis Reuters TV, Wayan Sukarda, yang kebetulan tinggal tidak jauh dari lokasi 4. Dia mendapat larangan merekam atau mengambil gambar video suasana penggerebekan. Bahkan, rekaman video suasana penggerebekan miliknya juga dihapus oleh anggota kepolisian.
Larangan peliputan juga terus dilakukan oleh anggota kepolisian yang menenteng senapan laras panjang ketika puluhan warga negara Tiongkok yang menghuni rumah itu digiring ke jalan untuk memasuki bus. Bahkan, ketika para terduga sudah memasuki bus, masih ada larangan terhadap tiga jurnalis yang merekam video dan memfoto peristiwa tersebut.
Dia menerangkan, aksi sepihak ini merupakan pelanggaran Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang berbunyi: setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 4 ayat 3 UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menyebutkan: untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Di bagian lain, Pasal 8 UU Pers disebutkan, dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum.
“Tindakan menghalangi peliputan pada hari Kamis, 11 Januari 2018, di Desa Kutuh, Kuta Selatan, ini merupakan kesombongan aparat yang tidak layak dilakukan di era keterbukaan informasi yang sudah sesuai dengan undang-undang,” katanya di Denpasar, Jumat (12/1/2018).
Dia menegaskan, AJI Kota Denpasar dan IJTI Bali mengecam perlakuan polisi yang telah menghambat jurnalis mencari dan meliput berita.
“Tindakan ini mengancam kemerdekaan pers. Tindakan menghalangi peliputan ini adalah melanggar Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yakni menghalang-halangi dan menghambat pekerjaan jurnalis bisa dikenai pidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta,” tegasnya.
Pihaknya meminta kepolisian untuk menghormati kerja jurnalistik wartawan dan memahami UU Pers. AJI dan IJTI juga mengimbau kawan-kawan jurnalis untuk menjalankan tugas jurnalistik secara profesional, mematuhi rambu-rambu UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik. (Dsd/Sir)