Jakarta, suarabali.com – Presiden Joko Widodo kembali mendaftarkan diri sebagai calon Presiden pada Pilpres 2019. Jokowi akhirnya memilih KH Ma’ruf Amin untuk mendampinginya sebagai calon Wakil Presiden. Keputusan Jokowi memilih KH Ma’ruf Amin sebagai cawapresnya dikritisi aktivis Setara Institute.
“Dalam konteks praktis politik, kita harus menghormati pilihan Jokowi atas Ma’ruf Amin sebagai bagian dari strategi politik elektoral untuk memenangkan kontestasi Pilpres 2019,” kata Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos , Selasa (14/8/2018).
Namun, kata dia, dalam realitas objektif, Jokowi selama ini secara bertubi-tubi menjadi objek serangan politisasi identitas yang sengaja didesain dan diembuskan oleh kelompok-kelompok lawan politiknya dengan menggunakan beberapa isu seperti anti Islam, anti ulama, anak PKI, dan pembela penista agama.
Strategi menggandeng Ketua MUI dan Rais Aam PBNU tersebut, menurut dia, merupakan kontra strategi bagi kelompok-kelompok politik oposannya. “Namun demikian, kita harus mengingatkan Presiden bahwa strategi politik elektoral harus diletakkan jauh di bawah politik kebangsaan dan politik negara yang menjamin kesetaraan hak bagi seluruh warga negara, termasuk kelompok minoritas keagamaan,” paparnya.
Bonar melihat rekam jejak Ma’ruf Amin selama ini, terutama selama menjabat pengurus dan Ketua MUI, cawapres Jokowi tersebut cenderung memiliki pandangan ke-Islam-an konservatif, alih-alih progresif. Dalam perspektif kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), sebagai hak dasar yang dijamin UUD 1945, kata dia, rekam jejak Ma’ruf Amin cenderung menunjukkan beban dan rintangan bagi pemenuhan hak-hak KBB dan pemajuan toleransi pada umumnya.
Beberapa fatwa MUI—dimana Ma’ruf Amin merupakan salah satu aktor kunci di dalamnya—problematik, menurut Bonar, mendorong meluasnya intoleransi dan memberikan energi bagi pelanggaran hak-hak konstitusional minoritas oleh kelompok-kelompok intoleran dan vigilante.
Antara lain, dia memaparkan, fatwa tentang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme agama (2005), fatwa tentang kesesatan Ahmadiyah (2008), fatwa tentang muatan penistaan Alqur’an dan ulama dalam pidato Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (2016), dan lain sebagainya. “Beberapa fatwa MUI juga mendorong perluasan diskriminasi terhadap kelompok-kelompok rentan (vulnerable groups), seperti perempuan dan LGBT,” ungkpanya dalam rilis yang diterima suarabali.com.
Selain itu, menurut Bonar, banyak pandangan MUI dan Ma’ruf Amin yang menunjukkan konservatisme dan menghalangi pemajuan dan pemenuhan hak konstitusional kelompok minoritas, seperti penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa pasca keluarnya Putusan MK No. 97/PUU-XIV/2016 pada 7 November 2017 yang pada pokoknya memberikan rekognisi konstitusional atas kesetaraan hak para penghayat kepercayaan dengan pemeluk agama serta basis legal formal bagi pemenuhan hak mereka baik secara administratif maupun substantif.
Dia menilai, dipilihnya Ma’ruf Amin oleh Jokowi merupakan strategi politik akomodatif yang berpotensi menambah beban bagi realisasi Nawa Cita oleh Jokowi pada pemerintahan keduanya jika terpilih pada Pilpres 2019.
Oleh karena itu, menurut dia, Jokowi harus memastikan bahwa politik kebangsaan dan kenegaraan berada di atas politik elektoral dan politik kekuasaan. Dengan demikian, pembuktian politik tersebut harus segera dilakukan oleh Presiden di sisa periode pertama pemerintahannya, dengan cara terus mengakselerasi harmonisasi peraturan-peraturan perundangan-undangan.
Dalam konteks itu, Presiden harus menginstruksikan pencabutan beberapa regulasi ministerial yang menjadikan fatwa MUI sebagai sumber hukum, seperti SKB tiga menteri tentang pelarangan Ahmadiyah yang mendeterminasi pelanggaran massif atas warga negara RI dari kelompok Jemaat Ahmadiyah dalam lebih dari satu dekade.
“Dalam konteks itu, Setara Istitute untuk ke sekian kalinya ingin mengingatkan bahwa fatwa MUI bukanlah sumber hukum dalam hirarki peraturan perundang-undangan RI,” katanya.
Dalam perspektif etika politik, menurut Bonar, kesediaan Ma’ruf Amin untuk menjadi calon Wakil Presiden bagi Jokowi harus disertai dengan kehendak untuk berjalan seiring dengan langgam politik Jokowi dan realisasi ide-ide politik kebangsaan sebagaimana tertuang dalam dokumen politik Nawa Cita yang hingga saat ini masih jauh dari ideal.
“Ma’ruf Amin harus ikut mendorong realisasi cita-cita politik Jokowi dalam pemenuhan dan pemajuan hak seluruh warga negara, terutama kelompok minoritas keagamaan dan kelompok-kelompok rentan pelanggaran HAM,” pungkasnya. (*)