Jakarta, suarabali.com – Orang-orang yang menginspirasi. Itulah gambaran singkat tentang tamu-tamu yang dihadirkan sebagai narasumber dalam acara talkshow Kick Andy yang ditayangkan Metro TV. Kali ini, Kick Andy menghadirkan tiga dara cantik yang rela menyusuri pelosok desa untuk melakukan kegiatan sosial.
Seperti dikutip dari kickandy.com, ketiga anak muda itu mengenyam pendidikan di luar negeri. Namun, lantaran kecintaannya terhadap Tanah Air, mereka rela menyusuri pelosok desa demi melakukan sesuatu yang bemanfaat bagi orang lain.
Stevia, misalnya, mengenyam pendidikan di Stanford University di California, AS. Dia mengambil kuliah di jurusan material engineering. Stevia sangat menyukai kehidupan dan ritme hidup di Amerika. Namun, jauh di lubuk hatinya tersimpan keinginan untuk selalu kembali ke Indonesia dan berbuat sesuatu untuk negaranya.
Ketika berhasil menyelesaikan studinya, Stevia memutuskan untuk kembali ke Tanah Air pada tahun 2012. “Saya bertekad untuk menjadi pengusaha yang berbeda. Pengusaha yang tidak hanya memikirkan keuntungan, tetapi juga saya ingin menjadi pengusaha yang memiliki misi sosial,” kata Stevia, yang memiliki usaha pabrik jamban.
Ketika Stevia melakukan kunjungan ke desa untuk melihat akar permasalahan dari sanitasi, ternyata masyarakat di desa, terutama di pelosok, masih buang airnya di sungai atau di kebon. Itu dilakukan masyarakat desa, karena tidak ada jamban dan pengetahuan tentang sanitasi.
Akhirnya Stevia tergerak untuk melakukan sesuatu, yaitu membuatkan jamban gratis serta edukasi ke masyarakat. Kini, sudah 10 MCK yang dibuat Stevia secara gratis di dua desa. Dia sudah mendonasikan 2.000 jamban secara gratis ke berbagai lembaga.
Stevia merasa perlu memiliki komitmen dalam menjalankan bisnisnya. Mottonya, karena akses terhadap sanitasi yang layak adalah hak setiap orang, bukan milik segolong orang saja. Semua dia lakukan demi Indonesia agar lebih sejahtera.
Tujuan yang sama, tapi dengan cara yang berbeda. Sherly, seorang traveler asal Surabaya, mulanya traveling ke Sumba pada April 2015 bersama travelmate dari Makassar.
“Kami ke Sumba selama sepuluh hari dan menjelajah dari ujung timur ke barat, blusukan ke desa adat. Dalam perjalanan tersebut, saya menjumpai banyak anak sekolah tanpa sepatu. Akhirnya, setelah sampai pulang Surabaya, baru terpikirkan untuk bikin Charity in Unity buat anak Sumba,” papar Sherly mengisahkan awal mula ketertarikannya melakukan kegiatan sosial.
Sherly memulai semuanya dari hal yang kecil. Ratusan pasang sepatu telah berhasil dibagikan kepada anak anak di Sumba Timur (Pau, Bukit Wairinding), Sumba Barat (Kampung Tarung), Sumba Barat Daya (Kodi dan Mandorak).
Terkumpul 300 pasang sepatu baru, 120 pasang sepatu bekas layak pakai, 4 buah tas sekolah baru, 187 baju dan celana dewasa layak pakai, 90 baju dan celana anak layak pakai, serta 5 baju dan celana anak anak.
Kini, Sherly bersama teman-temannya terus menjalankan kegiatan sosial untuk membantu orang-orang yang membutuhkan di suluruh daerah di Indonesia.
Begitu juga dengan Jessica Sudarta. Pemain harpa muda ini masuk pedesaan untuk mengajarkan anak-anak bermain musik.
Jessica Sudarta adalah satu dari sedikit pemain harpa atau harpis muda di Tanah Air. Segudang prestasi sudah ditorehkannya. Namun, bagi Jessica, tak ada prestasi yang lebih membanggakan dari berbagi ilmu dengan anak-anak di pedalaman.
“Aku merasa dampaknya luar biasa sekali, bagaimana musik bisa menjangkau anak-anak yang kurang beruntung,” katanya.
Jessica lalu menggagas program ‘Love for Indonesia’. Dalam proyek amal yang digelar setiap liburan sekolah ini, Jessica mengajak murid-murid SMA Surabaya yang mahir bermusik ke daerah terpencil untuk berbagi ilmu dengan anak-anak setempat.
Sebuah desa di Kabupaten Gianyar, Bali, menjadi tempat pertama yang dijamah Jessica dan timnya pada Juni lalu. Selain musik, mereka juga mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak seumuran SD. Selain itu, Jessica juga membuat bimbel gratis bagi anak-anak yang kurang mampu.
“Tak hanya mereka yang belajar. Kami juga belajar main gamelan, tarian daerah, dan melukis. Jadi ini semacam cultural exchange. Anak-anak kota akhirnya lebih mengenal betapa kayanya kebudayaan Indonesia. Jangan pernah lupa akar budaya kita yang dikenal dengan gotong-royong dan saling menghargai perbedaan,” paparnya. (Sir)