Thailand, suarabali.com – Negara ini tampaknya akan mengembangkan industri masyarakat berbasis komunitas lokal yang digerakan bersama menggaet turis asing.
Di perbukitan Doi Pha Mee (yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “Gunung Beruang”) di distrik Mae Sai di Chiang Rai, Thailand, wisata berbasis masyarakat lokal mulai dijalankan.
Patomporn bekerja dengan ‘Local Alike’, sebuah perusahaan sosial yang berbasis di Bangkok yang membantu masyarakat pedesaan mengembangkan pariwisata berbasis masyarakat di desa masing-masing.
Inisiatif pariwisata ini di Doi Pha Mee, yang dijalankan sejak pada bulan Oktober tahun lalu, pastinya merupakan sesuatu yang diminati oleh penduduk desa.
Peserta Asean Travel Journo Camp, yang diprakarsai oleh Asosiasi Wartawan Thailand dan didukung oleh AirAsia – adalah anggota pertama dari anggota media untuk mengunjungi pemukiman tersebut.
Untuk wiraswasta, Mint Phugsaphantawee yang sudah lama tinggal disana, kedatangan turis mengizinkan desa disisi paling Utara Thailand tersebut untuk menyingkirkan kesalahpahaman yang muncul dengan kedekatannya dengan perbatasannya dengan Myanmar.
“Orang-orang memiliki persepsi bahwa sejak desa dekat perbatasan, itu tidak aman. Tapi itu tidak benar. Kami ingin memberi tahu orang bahwa aman untuk mengunjungi desa kami. Bergabunglah dengan kami dan alami jalan hidup kami, “dia memohon.
Ini adalah undangan yang tulus karena, pada saat kedatangan, turis disambut oleh senyum cerah dan usaha asli dari penduduk desa untuk membuat semua tamu betah tinggal di rumah.
Dikampung ini dikenal sebuah tradisi berayun memakai tali yang dikenal sebagai ‘ayunan Akha’.
Ayunan Akha, dinamai menurut nama suku bukit Akha yang tinggaldikampung Doi Pha Mee, lebih dari sekedar mainan iseng. Seni berayun ini merupakan dasar dari salah satu ritual budaya Thailand yang paling menarik yakni Festival Akha Swing.
Diadakan pada bulan hujan Agustus, festival tersebut menyatukan masyarakat dalam merayakan musim panen. Ini juga saatnya bagi wanita di suku untuk mencari calon suami, kata pemandu kami Patomporn Pongnin.
“Pria memamerkan seberapa kuat mereka dengan berayun sekeras yang mereka bisa. Semakin tinggi laki-laki berayun, semakin baik mereka sebagai suami, “Patomporn membeberkan, di tengah cekikikan dari beberapa wanita Akha yang hadir dalam tur tersebut.
Selama festival berlangsung, para wanita Akha mengenakan hiasan yang rumit dan pakaian asli berwarna-warni yang telah mereka buat.
Gaya model wisata berbasis masyarakat sebetulnya ada juga contohnya di Jogjakarta. Turis dapat berjalan kaki melalui lorong perkampungan jawa padat dan diajak berinteraksi dengan penduduk local. Masyarakat didalam perkampungan membuka toko suvenir dan kedai sederhana. (Hsg)