Jakarta, suarabali.com – Kecurangan yang dilakukan para pemilik SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) yang makin marak belakangan ini mendapat sorotan publik. Anggota DPR pun meminta penggunaan dispenser di SPBU diaudit ulang.
Anggota Komisi VII DPR Mukhtar Tompo menilai Kementerian Perdagangan dan Kementerian ESDM tidak menerapkan standar dispenser secara baik dan hanya mengandalkan hasil akhir dalam bentuk uji tera.
Menurut dia, BPPT perlu melakukan audit teknologi terhadap semua dispenser di SPBU. Beberapa waktu lalu di Semarang, Jawa Tengah, misalnya, dia menemukan sebuah SPBU dengan melakukan uji volume BBM. Pada alat takaran 20 liter, ternyata ada kekurangan sebasar -0,7. Jika ini dibagi 20 liter, maka didapatkan hasil -0,35 tiap liternya.
“Saya melakukan pembagian 100 untuk mendapatkan nilai persentase. Jadi 0,35 : 100 : 0,0035 dikali rupiah. Jadi, 0,0035 : 20 liter : @ Rp 6.550 : Rp 131.000. Tiap 0,0035 kali 131.000 : Rp 458 (untuk 20 liter), jika dibagi 20 liter tadi, berarti ada kekurangan Rp 22,9 tiap liternya. Nah, di SPBU itu rata-rata BBM terjual 18-19 kiloliter per hari. Silakan dikalikan sendiri. Ini satu dari beberapa fakta yang terjadi,” papar Mukhtar, Jumat (5/1/2018).
Kekurangan volume atas hak pembeli BBM, lanjut politisi Hanura itu, selalu berkurang. Bila dikalikan dengan berapa banyak BBM terjual tiap hari, bulan, dan tahun, berapa banyak kerugian konsumen dan berapa banyak pula keuntungan yang diraup pemilik SPBU.
Sementara di Indonesia terdapat kurang lebih 7.600 SPBU. Mukhtar ingin memastikan alat ukur di setiap SPBU terukur dengan adil. Hal yang mungkin dianggap kecil ini, perlu dicarikan solusinya.
Sedangkan kewenangan uji tera saat ini sedang dalam masa transisi untuk dilimpahkan dari Dinas Perdagangan Provinsi ke Dinas Perdagangan Kabupaten/Kota. Sayangnya, pelimpahan ini tak didukung SDM yang memadai. Alat tera dari Kementerian Perdagangan lewat Direktorat Metereologi telah dibagi secara masif ke setiap kabupaten/kota lewat UPTD masing-masing. Faktanya, SPBU justru tak siap dengan SDM-nya.
“Saya menilai SPBU memang belum siap dengan SDM dan peralatannya. Pertamina sendiri mengeluhkan atas banyaknya permintaan tera ulang yang lambat direspon pemerintah. Akibatnya, beberapa alat ukur tidak segera bisa dioperasikan. Persoalan ini jadi pintu masuk bagi pelaku usaha BBM yang bermental buruk dengan mengurangi volume takaran. Hak masyarakat pun tergerus,” keluh politisi dari Dapil Sulsel I ini.
Akibat kecurangan pelaku usaha SPBU, Pertamina menanggung citra buruk. Perlu upaya maksimal dan koordinasi antara Pertamina, Kementerian ESDM, dan Kementerian Perdagangan untuk memastikan volume BBM yang dijual ke masyarakat tidak berkurang. Mukhtar mengatakan BPH Migas bisa menjembatani persoalan krusial ini.
“Saya sendiri merekomendasikan BPPT untuk membuat alat tera BBM digital. SPBU wajib melakukan tera ulang secara berkala sesuai aturan. Dengan begitu, jika ada masyarakat yang merasa dirugikan, bisa komplain langsung ke SPBU setempat,” katanya. (Sir)