Badung, suarabali.com – Minimnya sarana dan pengetahuan tentang pembibitan kepiting membuat kelompok nelayan di Wanasari, Kelurahan Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, selalu mengalami kekurangan produksi. Padahal, budidaya kepiting di daerah ini sudah dikembangkan sejak 2010.
Wanasari yang terletak di pinggir Jalan Tol Bali Mandara merupakan kawasan ekowisata mangrove. Selain itu, Wanasari juga dikenal sebagai Kampung Kepiting, karena banyak wisatawan yang mampir ke tempat ini untuk menikmati kuliner kepiting khas Wanasari.
Ironisnya, tingginya permintaan kepiting sebagai bahan makanan khas ini tak mampu dijawab nelayan Wanasari dengan meningkatkan produksi. Sebab, kelompok nelayan Wanasari masih dihadapkan pada minimnya pengetahuan mereka tentang pebibitan kepiting yang baik. Sehingga, produksi kepiting di kawasan ini tak kunjung meningkat.
Sekretaris Kelompok Nelayan Wanasari, Agus Diana, mengatakan sarana dan prasana yang dimiliki nelayan juga masih sangat terbatas. Hal ini juga menjadi penghambat bagi nelayan untuk meningkatkan produksi kepiting.
“Karena kami masih belajar, tingkat keberhasilan pembibitan kepiting masih rendah. Mulai dari mengawinkan kepiting hingga memelihara larvanya. Tinggkat keberhasilannya hanya 5 sampai 10 persen,” kata Agus Diana, Rabu (17/1/2018).
Rendahnya tingkat keberhasilan pembibitan kepiting itu, menurut Agus, terjadi akibat minimnya pengetahuan kelompok nelayan terhadap pembibitan kepiting.
“Kami belajar pembibitan kepiting secara otodidak. Kami tidak mendapat pembelajaran dan pembinaan dari instansi pemerintah,” kata Agus Diana.
Lantaran tingkat keberhasilan pembibitan kepiting rendah, maka pelepasan bibit untuk dibudidayakan di hutan mangrove juga rendah.
Setelah segala proses pembibitan kepiting di keramba atau bak kolam telah selesai, kepiting yang beratnya 150 gram atau berumur 4 bulan akan dilepas ke hutan mangrove.
“Kita lepas yang jenis betina saja. Harapannya, kepiting betina nantinya bisa ber-reproduksi di alamnya. Untuk kepiting jantan, dibesarkan di keramba untuk kemudian dijual sebagai kuliner,” jelasnya.
Sepanjang tahun 2017, menerut Agus, tidak sampai 200 ekor kepiting betina yang dilepas ke hutan mangrove. Sebab, Agus menghadapi kendala fasilitas yang tidak bisa menampung pembibitan telur-telur kepiting.
“Kami cuma punya dua bak kolam pembibitan. Satu bak untuk indukan, satu bak lagi untuk larva kepiting dan bayi kepiting. Padahal, satu ekor kepiting bisa menghasilkan tiga juta telur. Karena tidak bisa menampungnya, kami hanya mengambil 300 atau 500 telor untuk pembibitan,” ungkapnya.
Untuk meningkatkan produksi kepiting, Agus berharap pemerintah daerah dapat membantu pengadaan sarana dan prasarana pembibitan kepiting. Selain itu, Agus juga meminta pemerintah mendatangkan tenaga ahli agar kelompok nelayan dapat mengetahui pembibitan kepiting yang baik.
Selama ini, kata dia, kelompok nelayan hanya mendapat pengetahuan pembibitan kepiting dari para mahasiswa yang melakukan PKL di Wanasari.
“Kami berharap pemerintah dapat membantu kami. Sebab, nilai ekonomi kepiting sangat tinggi. Apalagi, di sini wilayah Taura yang cukup baik untuk membudidayakan kepiting,” pungkasnya. (Mkf/Sir)