Denpasar,suarabali.com – Kepala BPBD Bali Dewa Indera mengumpulkan puluhan awak media dari dalam dan luar negeri di Kantor Gubernur Bali, Jumat (24/11). Dalam pertemuan dengan puluah jurnalis tersebut, Dewa Indera menjelaskan soal kondisi terkini Gunung Agung yang terletak di Karangasem Bali.
Menurutnya, awal status gunung tertinggi di Bali itu naik dari normal ke siaga pada tanggal 14 September 2017. Kemudian pada tanggal 18 September 2017, statusnya naik dari waspada ke siaga dan pada tanggal 22 September 2017 naik menjadi status awas atau level 4. Terakhir pada tanggal 29 Oktober 2017 statusnya turun menjadi status siaga.
“Satu yang perlu diketahui adalah bahwa sekalipun statusnya turun, namun Gunung Agung teta aktif. Asap terus keluar ke kawah. Bahkan, saat letusan freatik pada 21 November lalu, tinggi asap mencapai 700 meter dan sekaligus mengeluarkan material abu. Jadi status Gunung Agung saat ini masih aktif aktifitasnya. Masyarakat tetap waspada,” ujarnya.
Menurutnya, salah satu yang perlu dijelaskan ke publik adalah soal peristilahan letusan. Letusan yang terjadi baru-baru ini adalah letusan freatik.
“Saya akui bahwa hampir semua media menulis secara baik dan benar karena pihak PVMBG sudah menjelaskan arti letusan freatik. Tetapi kata letusan itu bisa bikin orang panik dan takut. Padahal letusan freatik itu fenomena biasa. Secara vulkanologi, freatik itu masuk kategori erupsi, tetapi masih freatik. Ini fenomena biasa.
Berita harus proporsional, jangan sampai timbulkan kepanikan berlebihan dan multitafsir. Erupsi freatik fenomena biasa, tidak berbahaya. Hanya asap dan materialnya ringan.
“Hanya saja masyarakat yang sudah berada dalam waktu yang cukup panjang dengan status gunung, maka malam itu ada pergerakan warga. Mereka ingin keluar dari kampung halamannya,” ujarnya.
Menurutnya, karena sudah hampir sebulan lebih pernah berada di pengungsian, maka begitu mendengar istilah letusan semuanya langsung reaksi.
Reaksi spontan dan pergerakan warga yang ingin keluar itu positif karena ini indikasi bahwa mereka paham kalau mereka ada di wilayah rawan bencana, mengerti tentang bencana, mengerti tanggap darurat dan seterusnya.
“Hari ini Gunung Agung masih mengeluarkan asap, tetapi tingginya menurun, volumenya berkurang. Dalam dunia vulkanologi erupsi freatik itu biasa,” ujarnya.
Sampai saat ini aktifitas Gunung Agung tetap berlangsung. Makanya letusan Freatik akan terjadi lagi tetapi untuk volumenya dan ketinggiannya belum bisa diketahui.
“Kita tetap meminta masyarakat untuk waspada karena letusan itu bisa terjadi kapan saja, tanpa harus menaikkan status menjadi awas,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini pemerintah sudah melakukan antisipasi bila suatu saat gunung yang ada di Kecamatan Rendang itu meletus. Pemerintah sudah siap semua. Bantuan juga masih bergelimpangan.
“Sampai sekarang, bantuan untuk pengungsi masih banyak. Semuanya cukup untuk pengungsi yang masih tersisa saat ini. Artinya, kami sudah siap bila akhirnya Gunung Agung meletus,” ujarnya.
Stok bahan makanan masih melimpah mulai beras, mie instant, alat perlengkapan lainnya. Soal dana, sampai sekarang belum ada dana bencana yang dikeluarkan oleh pemerintah, karena memang Gunung Agung belum meletus. Peningkatan level ini adalah potensi terjadinya erupsi.
“Jadi kalau ditanya apakah pemerintah provinsi sudah mengeluarkan dana tanggap darurat, maka jawabnya belum. Karena dana itu dikeluarkan saat bencana dan pasca bencana,” ujarnya.
Ini bukan berarti Pemprov Bali tidak mengeluarkan uang. Uang tetap dikeluarkan tetapi bukan dari alokasi anggaran bencana. Uang dikeluarkan dari pos lainnya yang tidak menyalahi aturan dan UU yang berlaku.
Tahun 2017, anggaran penanggulangan bencana sebanyak Rp 4,5 miliar. Belajar dari pengalaman ini, maka tahun 2018 sudah diketok palu anggaran bencana ditingkatkan menjadi Rp 30 miliar. Pemerintah memang harus mengutamakan penyelamatan warga daripada sekedar mengeluarkan uang. (Ade/Tjg)