Jakarta, suarabali.com-Dinamika kerja Panitia Khusus Hak Angket KPK menampakkan secara lebih terang asumsi banyak pihak tentang motif yang sebenarnya dari pembentukan Pansus Angket ini, yakni menyebar opini destruktif tentang KPK untuk melegitimasi sejumlah langkah perubahan regulasi yang melemahkan KPK.
Ketua Setara Institute Hendardi dalam siaran persnya yang diterima suarabali.com, Rabu (6/9) mengatakan, pemanggilan jaksa, hakim dalam proses pengumpulan informasi oleh Pansus Angket DPR secara eksplisit telah membenturkan organ-organ penegak hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.
Suara yang melemahkan KPK bukan hanya datang dari Pansus Angket KPK tetapi juga dari organisasi penegak hukum lainnya.
“Sangat disesalkan organ-organ tersebut hadir dan terlibat dalam proses politik ‘mengadili’ KPK,” ujar Hendardi.
Rencana pelaporan Agus Raharjo (Ketua KPK) atas ucapannya yang berencana mempidanakan anggota Pansus karena dinilai melakukan obstruction of justice, menurut Hendardi, juga telah memperburuk kinerja Pansus Angket KPK di mata publik.
“Baik KPK maupun Pansus Angket sebaiknya menahan diri untuk tidak saling adu kuasa,” tegasnya.
Meskipun upaya-upaya hukum terkait pelaporan Agus Raharjo ke intitusi kepolisian merupakan suatu hak hukum setiap orang, akan tetapi menurut Hendardi, konteks politik yang melatarbelakangi pelaporan yang membuat pelaporan tersebut patut disayangkan.
Hendardi menambahkan, meski Polri sebatas menjalankan prosedur normatif memproses berbagai laporan-laporan masyarakat, episode ketegangan Polri dan KPK bisa saja terjadi.
“Selain Polri, jaksa dan hakim yang curhat di depan Pansus Angket KPK juga telah memperlebar persoalan. Jika dalam kerangka Pansus Angket KPK, DPR mengklaim menjalankan fungsi pengawasan, maka berbagai opini yang muncul dari organ penegak hukum lain menggambarkan ‘ketidaksukaan’ pada KPK karena kewenangannya yang dianggap luar biasa,” katanya.
Selain kontroversi yang melekat pada proses pembentukannya, secara politik Pansus Angket sebenarnya sudah kehilangan legitimasi, dengan tidak bulatnya dukungan partai-partai politik.
Metodologi kerja yang tidak fokus sebagaimana fungsi angket, yakni pengawasan DPR terhadap organ yang diawasi hanya dalam menjalankan UU bukan case by case, menjadikan niat baik DPR justru diragukan banyak pihak.
“Apa relevansi DPR mengunjungi safe house KPK, memanggil pelapor Novel Baswedan dalam pencurian sarang burung walet? Tambah lagi Pansus Angket yang terkesan melakukan fait accompli organ-organ penegak hukum lain untuk satu barisan bersama Pansus Angket KPK dalam melemahkan KPK,” ujar Hendardi.
Dengan metodologi kerja demikian, maka menurut Hendardi, wajar publikasi hasil temuan sementara Panitia Khusus Hak Angket KP tidak menunjukkan kualitas kerja institusi parlemen. Karena disusun dengan tergesa-tergesa, temuan Pansus lebih menyerupai ‘daftar perasaan’ anggota Pansus dibanding sebagai temuan kinerja investigasi lembaga negara.
Terlepas dari niat baik Pansus Angket yang obsesif memperkuat KPK, 11 temuan yang dirilis pada 21/8 lalu, hanya mengulang pernyataan-pernyataan sejumlah anggota Pansus yang sudah berulang kali disampaikan kepada publik dan dilegitimasi sebagai produk institusi negara.
Hendardi berpendapar, niat baik untuk menata dan/atau memperkuat KPK sulit mendapat dukungan publik selama DPR tidak menunjukkan dukungan yang sesungguhnya pada KPK.
“Daripada membuang anggaran negara, sebaiknya presiden Jokowi segera mendisiplinkan anggota partai koalisinya untuk menghentikan proses lanjutan yang akan dilakukan Pansus Angket. Jokowi tidak bisa terus berdiam dengan alasan Pansus Angket adalah domain DPR, karena Jokowi memiliki sumber daya politik untuk menyelamatkan upaya-upaya pelemahan KPK,” pungkasnya. (Tan)