Amerika, suarabali.com – Dunia saat ini menghadapi pemanasan global yang mengkhawatirkan. Berbagai langkah diambil namun, hasilnya tidak juga menggembirakan.
Sejak awal abad 21, gelombang panas telah menelan banyak korban jiwa. Musim panas 2003 silam misalnya menewaskan sekitar 70.000 orang di seluruh dunia.
Jika saja semua negara serius menangani laju kenaikan pemanasan global sekitar dua derajat celcius per tahun, toh begitu Negara tropis seperti Indonesia tetap akan menderita dengan suhu panas tinggi.
Menurut media DW (Jerman), dalam setahun ada 300 kali gelobang panas akan menyapu Indonesia. Perubahan iklim akan meningkatkan potensi gelombang panas mematikan bahkan jika manusia berhasil mencegah laju pemanasan global menjadi maksimal dua derajat Celcius seperti yang tertera pada Perjanjian Iklim Paris. Kesimpulan tersebut diungkapkan ilmuwan AS dalam Journal Nature Climate Change.
Indonesia diyakini bakal menghadapi lebih dari 300 gelombang panas setiap tahun. Nasib serupa akan dialami Filipina, Brazil, Venezuela, Sri Lanka, India, Australia dan Nigeria.
“Dengan temperatur dan kelembapan yang tinggi, hanya butuh sedikit pemanasan untuk mengubah cuaca menjadi mematikan,” kata Camilo Mora, Guru Besar Biologi di Universitas Hawaii.
Bahkan jika manusia berhasil menerapkan sasaran iklim sesuai perjanjian Paris, kota-kota besar seperti Jakarta atau Manila tetap akan melampaui ambang batas “panas mematikan” pada setengah tahun pertama.
“Kami menemukan gelombang panas mematikan akan muncul lebih sering di seluruh dunia dan tren ini tidak lagi bisa dicegah,” kata Mora.
“Bahkan jika kita melampaui target pada perjanjian Paris, populasi yang akan terkena dampak gelombang panas akan mencapai 50% pada 2100.” Saat ini pun sudah sekitar 30% penduduk Bumi mengalami gelombang panas minimal sekali dalam setahun.
Di masa depan kawasan tropis seperti Asia Tenggara akan mendapat dampak terburuk gelombang panas dengan jumlah “hari mematikan” dalam setahun jauh melebihi kawasan lain di Bumi, menurut analisa PBB. “Jika cuacanya terlalu panas dan lembap, panas dari dalam tubuh tidak bisa keluar,” kata Mora. “Ini memicu kondisi yang disebut ‘sitotoksin panas” yang merusak organ tubuh. Seperti terbakar matahari, tapi di dalam tubuh.”
Tim saintis bentukan Camilo Mora beranggotakan 18 ilmuwan iklim dari seluruh dunia. Untuk merampungkan studi tersebut mereka menganalisa kondisi dan tren perubahan cuaca di 1.900 lokasi di dunia. (Hsg)