Padang, suarabali.com – Ketua DPR Bambang Soesatyo (Bamsoet), hadir pada puncak acara Hari Pers Nasional 2018, yang digelar di Danau Cinpago Pantai Padang, Sumatera Barat, Jumat (9/2/2018).
Dalam menyoroti perkembangan pers saat ini, Bamsoet berpendapat bahwa pers Indonesia tengah menghadapi tantangan yang cukup berat. Dimana saat ini pers Indonesia mau tidak mau harus menghadapi era sosial media (sosmed) dan juga hoax.
“Media mainstream yang dikelola komunitas wartawan akan tetap menjadi andalan publik untuk mendapatkan informasi yang benar dan akurat,” ujar Bamsoet.
Mrnurutnya, tantangan bagi media mainstream makin berat dan pelik karena akumulasi dan arus informasi dewasa ini ibarat debu yang bertebaran setiap harinya.
“Karena wartawan harus bekerja lebih cepat untuk menyajikan informasi yang benar dan akurat. Kebenaran dan akurasi menjadi harga mati, agar informasi yang disajikan wartawan tidak menjadi hoax (berita atau informasi bohong),” tegasnya.
Ketika publik resah dan bertanya mengapa hoax bisa memadati jagad pemberitaan masa kini, mantan wartawan ini mengatakan, keresahan dan pertanyaan itu sebenarnya dialamatkan juga kepada insan pers.
“Hoax marak karena insan pers masa kini belum cukup sigap merespons setiap isu atau peristiwa di ruang publik. Ketidaksigapan wartawan akhirnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab menyebarkan hoax dari setiap peristiwa,” tambahnya.
Dengan begitu, fenomena maraknya hoax pada era sekarang harus ditanggapi oleh komunitas wartawan sebagai tantangan. Dengan meningkatkan kesigapan atau sensitivitas terhadap isu-isu yang beredar di ruang publik, peran wartawan pada dasarnya bisa mereduksi hoax.
“Selain itu, komunitas wartawan tentunya harus juga beradaptasi dengan tantangan zaman yang dihadapi bangsa dan masyarakatnya,” kata dia.
Diungkapkan, negara dewasa ini menghadapi persoalan yang cukup pelik. Salah satunya adalah terkotak-kotaknya masyarakat akibat perbedaan pilihan politik dan beda keyakinan.
Akibatnya, menuju agenda pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak pada Juni 2018 ini, muncul lagi kekhawatiran bersama tentang kemungkinan digunakannya isu bernuansa SARA (suku, agama, ras dan antargolongan) untuk mendiskreditkan lawan politik. (Tjg)