Denpasar, suarabali.com – Kerugian Indonesia dari sektor pajak terkuak saat Hotman Paris tampil sebagai pembicara dalam seminar bertajuk “Kupas Tuntas Aspek Hukum dan Perpajakan Terhadap Nomine dan Beneficial Owner” di Sanur, Bali, Kamis (15/2/2018).
Seminar sehari tersebut diselenggarakan atas kerja sama Ikatan Akuntan Indonesia, International Federtion of Accountance (IFAC), Peradi, dan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia.
Hadir dalam seminar tersebut para pengacara dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, para akuntan, dan konsultan pajak lainnya.
Dalam seminar tersebut, pengacara kondang Hotman Paris Hutapea membuka kerugian negara dari sektor usaha hotel dan vila yang dimiliki oleh orang asing di Bali.
Awalnya, Hotman berbicara soal pengalaman pribadinya yang berbisnis villa dan hotel di Bali. Seluruh penawaran, ternyata dikuasai oleh orang asing.
“Saya berbicara begini bukan karena saya kalah bersaing dengan orang asing. Saya memang mau membeli untuk hari tua saja. Dari seluruh villa yang saya datangi, ternyata owner-nya orang asing, manajer orang asing, bahkan ada pegawainya orang asing. Rupanya ketika mereka melihat saya, mereka langsung pasang harga tinggi. Masa villanya harga Rp 120 miliar dan yang tawar itu orang bule,” ujarnya.
Hotman menyakinkan, keterusterangan ini bukan karena dirinya tidak mendapatkan harga vila yang diinginkan, tetapi benar-benar ingin mengungkap kerugian negara yang besar yang dilakukan oleh orang asing.
Menurut Hotman, peristiwa yang dialaminya membuat dirinya mencari tahu lebih dalam lagi, melakukan investagasi melalui jaringan yang ada untuk memperoleh informasi tentang penguasaan bisnis vila, hotel, dan tanah di Bali.
“Kondisi ini sudah terjadi 20 tahun lalu. Artinya, kerugian negara sudah mencapai triliunan rupiah. Dan, tidak ada yang mengetahui hal ini,” ujarnya.
Kerugian itu, antara lain, banyak transaksi dilakukan di luar negeri dan pemerintah Indonesia tidak mengatahui transaksi ini, tidak pernah bayar pajak, dan lain-lain. Sebab, transaksi dilakuan oleh orang asing.
Solusinya, menurut Hotman, negara harus membentuk satgas pemburu kerugian negara, khususnya di Bali, yang melibatkan orang asing.
“Satgas ini harus lengkap, mulai dari Imigrasi, Kepolisian, Kejaksaan, Penanaman Modal Asing, Perpajakan, dan seterusnya. Dari seluruh stakeholder ini, maaf, saya mencurigai pihak Imigrasi seharusnya lebih berperan menertibkan orang asing. Masa ada orang asing lebih dari 10 kali ke Bali, perpanjang visa terus-menerus, tetapi tidak diselidiki. Dalam visa ada rekaman histori, kenapa seorang asing datang ke Bali,” ujarnya.
Sementara pengacara muda Bali, YB Seran, mengakui praktek itu memang sudah ada, terutama mereka yang berinvestasi di luar penanaman modal asing. Banyak usaha atau investasi yang in nomine atau atas nama orang lokal.
“Misalnya, ada orang asing beli tanah untuk buka usaha. Tetapi, karena UU melarang orang asing memiliki tanah di Bali, maka tanah itu dibeli dengan menggunakan nama orang Indonesia. Umumnya mereka sudah ada kesepakatan dengan orang yang mempunyai nama itu, seperti komisi dan bagi hasil. Masalahnya, tanah atau properti itu dijual di luar negeri dengan pembelinya juga orang asing. Bagaimana kita mau hitung pajak dan lain-lain,” ujarnya.
Pemilik baru itu datang ke Indonesia dan Bali dan membuat kesepakatan baru dengan pemilik nama dan begitu seterusnya. “Jadi, potensi kerugian pajak juga besar,” katanya.(Ade/Sir)