Pertemuan Akademisi UNUD dengan Anggota DPD RI Gede Ngurah Ambara Putra, SH di kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Perwakilan Bali, pada Selasa 23 April 2024.
Denpasar, suarabali.co.id – Akademisi Universitas Udayana, menyatakan pentingnya pelestarian budaya Bali, terkarena akan menggantungkan ekonomi dari pariwisata dan budaya yang kental dan menjadi daya tarik.
Hal itu disampaikan Prof Nyoman Suarka dalam pertemuan dengan Anggota DPD RI Gede Ngurah Ambara Putra, SH di kantor Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Perwakilan Bali, Selasa 23 April 2024 yang dihadiri sejumlah tokoh dan pelaku budaya dari Widya Sabha dan LPDG (Lembaga Pengembangan Dharma Gita) se-Provinsi Bali.q
“Saya berharap ada satu hasil terutama terbentuknya regulasi yang mengatur mengenai penguatan pemajuan kebudayaan khususnya dalam bidang pendanaan penganggaran,” ujar Prof. Suarka.
Dalam pertemuan tersebut menyoroti kendala utama dalam pelestarian budaya adalah pendanaan.
“Selama ini mereka lebih banyak ‘ngayah’ tanpa dibayar dalam perannya menjalankan kegiatan budaya. Mustahil menjaga budaya hanya mengandalkan sumber daya tanpa didukung sumber dana yang memadai,” kata dia.
Prof. Suarka menyebut pentingnya satu pemikiran bagaimana diupayakan adanya dana abadi sebagai belanja budaya.
Sehingga bisa melakukan penguatan dan pemajuan budaya secara maksimal, bahkan UUD 1945 itu menjamin pembangunan kebudayaan.
“Tapi masih banyak kendala terutama penganggaran. Harus punya komitmen kuat, bagaimana punya suatu regulasi bahwa anggaran kebudayaan itu seperti pendidikan 20 persen dari APBN dan APBD. Kalau budaya ini seperti apa penganggarannya? Jadi harus ada regulasi wajib yang menganggarkan mungkin 5 persen APBN APBD,” jabarnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Anggota DPD RI Dapil Bali, Gede Ngurah Ambara Putra, SH. mengaku telah mengajukan proposal terkait revisi atau penyempurnaan terhadap Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, khususnya terkait dengan alinea kedua.
“Alenia 2 ini berbunyi Pemerintah Pusat dapat memberikan dukungan pendanaan dalam rangka penguatan pemajuan kebudayaan, desa adat, dan subak melalui Pemerintah Daerah Provinsi Bali,” ujarnya.
Ngurah Ambara mengusulkan perubahan kata “dapat” yang terdapat dalam alinea 2 tersebut menjadi “wajib”.
Hal ini dilakukan karena adanya kebutuhan anggaran yang tidak mencukupi untuk pemajuan kebudayaan, desa adat, dan subak di Provinsi Bali.
Saat ini, dana yang dialokasikan untuk menjaga pelestarian budaya di setiap desa adat sebesar Rp 300 juta, namun jumlah tersebut dinilai kurang memadai mengingat kompleksitas pemajuan budaya serta peningkatan hak ekonomi bagi pelaku budaya di Bali.
Oleh karena itu, diperlukan langkah konkret agar dana yang cukup tersedia untuk tujuan tersebut dan yang dianggap mendesak adalah mencegah proses marginalisasi atau keterpinggiran pelaku budaya akibat tingginya beban pelestarian budaya yang tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai.
Ngurah Ambara mengusulkan agar 2 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Bali yang mencapai Rp 274 triliun dialokasikan sebagai dana bagi hasil untuk memajukan budaya.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan sumber dana yang signifikan untuk mendukung kegiatan pemajuan kebudayaan, desa adat, dan subak di Bali.
Ngurah Ambara berharap dari revisi ini dapat meningkatkan dukungan pendanaan dari Pemerintah Pusat untuk pemajuan kebudayaan, desa adat, dan subak di Bali, serta menghasilkan dana yang lebih memadai untuk menjaga pelestarian budaya dan meningkatkan hak ekonomi bagi pelaku budaya di Bali.
“Bali dapat semakin maju dan memperkuat identitas budaya yang kaya dan beragam,” pungkasnya. (*)